Salam X-Kars
Syarat Pulang Haji Masa Lampau
Radar Besuki
Ibadah haji, di mata Pemerintah Kolonial Belanda, dianggap
sebagai tantangan sekaligus ancaman. Ibadah haji diawasi secara ketat.
Pengawasan ini juga meliputi seabrek syarat dan biaya yang harus dipenuhi
jemaah haji asal Nusantara ketika hendak kembali ke Tanah Air.
Siasat Belanda untuk menekan jumlah jemaah haji asal Hindia
Belanda pertama kali tampak melalui penerbitan Resolusi 1825. Dalam buku Penyelenggaraan Haji Era Reformasi:
Analisis Internal Kebijakan Publik Departemen Agama, A. Chunaini
Saleh menuliskan bahwa melalui sebuah instruksi rahasia, Belanda menetapkan
kewajiban bagi calon haji untuk membayar 110 gulden sebagai ongkos pembuatan
pas jalan.
"Dalam instruksi itu juga dianjurkan kepada para residen supaya semangat naik haji diawasi dan dikurangi. Para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda 1.000 gulden," tulis Chunaini.
"Dalam instruksi itu juga dianjurkan kepada para residen supaya semangat naik haji diawasi dan dikurangi. Para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda 1.000 gulden," tulis Chunaini.
Besarnya denda yang diberlakukan tentu sangat memberatkan jemaah haji yang tak sabar pulang. Sebagai dampaknya, banyak dari mereka yang telah lebih dari sebulan menetap di Mekkah pulang ke Tanah Air dengan modal nekat untuk menghindari beban biaya pembuatan pas-jalan. "Peraturan itu kemudian diubah sedikit pada 1831. Denda dikurangi menjadi dua kali harga pas jalan, yaitu 220 gulden," tulis dia.
Meskipun sejak 1825 pemerintah Belanda mewajibkan jemaah haji menggunakan pas jalan, tetapi banyak di antara mereka yang berangkat tanpa proses perizinan tersebut. Sampai akhir abad 19, pemerintah tidak menerbitkan pas jalan pulang bagi mereka yang sejak keberangkatan tidak melengkapi diri dengan dokumen izin perjalanan haji.
"Dalam laporannya pada 1882, konsul menulis bahwa banyak jemaah haji dari Aceh datang tanpa pas. Ia (Pemerintah Hindia Belanda) tidak menawarkan pas baru kepada mereka. Pada 1899, masih ada 198 jemaah haji yang datang ke konsulat meminta pas jalan ke Hindia Belanda dengan alasan pas jalan mereka hilang," tulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji di Indonesia.
Atas sikap jemaah haji bumiputera, pemerintah memasukkan mereka yang berangkat ke Hijaz tanpa pas sebagai clandestien alias warga Hindia Belanda.
Peraturan kepemilikan pas jalan hanya diberlakukan bagi orang-orang bumiputera dan bangsa-bangsa asing Timur. Menurut Hukum Sipil 1848 yang berlaku hingga 1920, diwajibkan untuk membawa pas-jalan jika bepergian dari satu onderdistrik ke onderdistrik lainnya. Termasuk ketika hendak melaksanakan ibadah haji.
"Peraturan ini ialah Passenstelsel yang terkenal dengan ancaman denda 25 sampai 50 gulden atau masuk penjara 8 hari bagi yang melanggar. Bahkan sebelum perkaranya diperiksa politie-rol (pengadilan), yang bersangkutan akan terlebih dulu ditangkap, dibelenggu, digiring, dan ditahan," tulis Peraih Weirtheim Award, Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Tampaknya membawa surat jalan saja tidak dianggap cukup. Pemerintah kolonial Belanda juga mewajibkan jemaah haji melapor diri di setiap onderdistrik yang disinggahi dengan memberikan tanda cap.
"Barang siapa yang melanggar diancam hukuman denda 10 gulden atau penjara tiga hari. Ini sesuai dengan pengumuman gubernur jenderal 6 Desember 1816, Staatsblad 1816 No. 25, UU 12 Februari 1850, Staatsblad 1850 No. 6; pengumuman 21 Juli 1863, Staatsblad 1863 No 83; UU 12 April 1887. Staatsblad 1887 No. 74 dan seterusnya," tulis Benny dalam buku yang sama.
Dua puluh tahun kemudian barulah muncul perkembangan baru. Peraturan tentang kewajiban memiliki pas jalan ternyata tidak berhasil membendung jumlah calon haji yang terus bertambah. Siasat Belanda selanjutnya adalah mewajibkan setiap calon haji meminta pas jalan kepada bupati, juga dianjurkan adanya pembuktian bagi mereka yang hendak berhaji untuk membayar biaya perjalanan pulang-pergi ke Mekkah dan biaya hidup keluarganya di Indonesia.
"Dan sesudah pulang dari Mekkah, para jemaah diuji oleh bupati atau orang
yang ditunjuk bupati dan setelah itu baru diperkenankan memakai gelar dan
pakaian haji. Peraturan 1859 ini berlaku sepanjang abad ke 19. dan baru diganti
dengan peraturan baru pada 1902, di mana ujian oleh bupati dihapuskan,"
tulis Benny. (Rabi)