Dirilis oleh Gus A'ang
Pejabat negara dinilai masih takut berdiskresi sepanjang 2016. Sebab mereka takut disemprit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang memegang peran super penting dalam penegakan UU Adminstarasi Pemerintahan (UU AP). "Sejak diberlakukan UU AP, perlu dilakukan reformulasi agar APIP dapat melaksanakan kewenangannya yang sangat strategis," kata Kepala Bagian Adminsitrasi Pusat Kajian Sistem dan Hukum Lembaga Adminstrasi Negara, Tri Atmojo, dalam diskusi di Ruang Diskusi A, Geudng A, Lantai 1 Kantor LAN, Jalan Veteran 10, Jakpus.
Kewenangan APIP seperti memutuskan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Hal itu diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014. "Pasca berlakunya UU AP, sumber daya APIP harus mempunyai kompetensi teknis hukum. Serta harus mampu menghitung kerugian negara sebagai akibat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan," ujar Tri.
Oleh sebab itu, APIP diminta steril dan independen. Hal itu supaya tidak terkesan menutupi kesalahan korupsi atau intervensi. "UU AP ini sebenarnya sangat bagus secara materi dan seharusnya bisa menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dengan mendahulukan penyelesaian administrasi sebelum masuk ke ranah pidana," pungkas Tri.
Jika ditelaah, konfrensi hukum 2016 seperri ini. Pasca Proklamasi 1945, hukum Indonesia ternyata masih bercita rasa kolonial Belanda. Seperti KUHP yang masih asli Belanda hingga hukum perdata warisan Burgerlijk Wetboek voor Indonesie. Oleh sebab itu, perlu dibentuk hukum dengan suasana ke-Indonesia-an. "Pembentukan, pelaksanaan, penegakan dan pembaharuan hukum Indonesia hendaklah selaras dan seimbang dengan kosmologi yaitu nilai-nilai dasar atau nilai adiluhung yang diwariskan leluhur kita," kata pakar hukum adat Prof Dr Dominukus Rato.
Menurut Prof Dom, demikian ia biasa disapa, nilai-nilai itu berdasarkan pengalaman bangsa yang telah berlangsung selama puluhan tahun, ratusan tahun bahkan ribuan tahun dan tidak lekang oleh waktu. Tidak karat oleh zaman. "Hendaklah kita mampu memilah dan memilah nilai-nilai asing untuk memperkaya nilai sosial budaya sendiri dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional," cetus guru besar Universitas Jember itu.
"Perlu dibangun semangat untuk berbangga pada nilai sosial budaya sendiri, termasuk kepada sistem hukum nasional Indonesia," sambung Prof Dom.
Prof Dom mencontohkan pengalaman Jepang yang membangun sistem hukumnya berdasarkan semangat budaya setempat. Yaitu Hito-Kane-Mono atau korporasi, pelanggan dan pesaing. Falsasah itu bersumber dari falsafah Hone sebagai great culture (budaya adiluhung) dan tate mae sebagai small culture. "Filosofi Hito-Kane-Mono menjadi roh manajemen dibentuk, bekerja dan mendukung ekonomi Jepang sedangkan falsafah tate mae dan hone telah membentuk moraliltas dan mentalititas Jepang dalam pembentukan, pelaksanaan, penegakan dan pembaharuan hukum," papar Prof Dom. "Inti dari hone dan tate mae adalah rasa malu atau budaya malu dan bangga dengan Jepang," pungkas Prof Dom.
Seruan di atas disampaikan dalam Konferensi Hukum Nasional (KHN) 2016 yang digelar di Jember, Jawa Timur pada akhir pekan lalu. Hadir dalam KHN 2016 itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta, Ketua Ombudsman Prof Dr Amzulian Rifai, perwakilan Mabes Polri Kombes Hambali, Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak, mantan Ketua KPK 2007-2009 Antasari Azhar dan Dirjen Peraturan Perundangan Prof Dr Widodo Ektatjahjana.
Adapun dari kalangan akademisi yaitu Dr Harjono, Prof Dr Saldi Isra, Dr Refly Harun, Dr Zainal Arifin Mochtar, Dr Ahmad Redi serta Chrales Simabura. Adapun peserta KHN 2016 diikuti berbagai kalangan praktisi dan akademisi. (Rabi 2016)