Salam X- Kars
Situbondo - Radar Besuki
Dikutip dari https://ferirozak.wordpress.com/2014/08/17/polwan-melati-pagar-bangsa/
POLWAN MELATI PAGAR BANGSA
Sejatinya perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Namun, sayangnya langkah perempuan untuk lebih banyak berkiprah di berbagai bidang umumnya terkendala oleh paradigma dan kepercayaan diri. Tak terkecuali di Indonesia. Perempuan masih dianggap lebih lemah daripada laki-laki sehingga tidak mampu mengerjakan tugas yang biasa dilakukan laki-laki. Begitu pun dengan kepercayaan diri yang belum seutuhnya dimiliki perempuan Indonesia. Akan tetapi, kepercayaan diri akan tumbuh jika orang lain memberikan kepercayaan.
Membicarakan peranan perempuan merupakan topik yang tiada habisnya. Perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang beriring dengan perjalanan sejarah RI. Sejarah mencatat, Presiden RI pertama Ir. Soekarno pada tahun 1947 telah mengangkat persoalan gender ke permukaan seperti terungkap dalam buku “Sarinah”. Dalam menulis buku tersebut Ir. Soekarno banyak mendapat inspirasi dari beberapa peristiwa. Beliau melihat banyak perempuan masih terbelenggu oleh adat-istiadat, keterpaksaan dalam perkawinan, ketidakbebasan karena aturan-aturan serta peristiwa sehari-hari yang menyangkut kesetaraan gender.
Perempuan yang dicita-citakan Ir. Soekarno pada masa itu diformulasikan sebagai suatu kesetaraan gender yang antara lain, perempuan memiliki kemampuan berpikir, bisa bertindak dan bekerja seperti kaum laki-laki misalnya menjadi jaksa, hakim, dokter, tentara, polisi, teknokrat dan pemimpin organisasi politik. Menurut pandangan dan konsepsi piwulang Jawa, yang dimaksud dengan peranan perempuan, antara lain perempuan harus memiliki kekuatan, sehingga akan bermuara pada pembebanan perempuan dalam dua dunia, yaitu perempuan sebagai isteri dan perempuan yang dapat bekerja. Hal tersebut menunjukkan kemajuan perempuan telah diupayakan dan diperjuangkan, perempuan perlu mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang.
Pun begitu dalam bidang penegakan hukum, khususnya institusi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan keberadaan satuan polisi khusus wanita (POLWAN). Keterlibatan perempuan dalam institusi ini telah lama diakui. Jika kita melihat ke belakang bagaimana perjuangan POLWAN menunjukan jati dirinya sebagai anggota POLRI kala itu diraih dengan tidak mudah.
AKBP S Hastry Purwati - penentu titik eksekusi mati
Pada 1 September 1948 berawal dari kota Bukittinggi, Sumatera Barat takkala Pemerintah Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda II, mengakibatkan pengungsian besar-besaran pria, wanita, dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan. Untuk mencegah terjadinya penyusupan, para pengungsi harus diperiksa oleh polisi, namun para pengungsi wanita tidak mau diperiksa apalagi digeledah secara fisik oleh polisi pria.
Kemudian, Pemerintah Indonesia menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membuka Pendidikan Inspektur Polisi bagi kaum wanita. Setelah melalui seleksi terpilih enam orang gadis remaja yang kesemuanya berdarah Minangkabau, yakni: Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher. Keenam gadis remaja tersebut secara resmi tanggal 1 September 1948 mulai mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukittinggi , sejak itu dinyatakan lahirlah POLWAN. POLWAN didirikan dengan tujuan untuk membantu penanganan dan penyidikan terhadap kasus kejahatan yang melibatkan kaum wanita baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Keberadaan POLWAN dalam perkembangannya sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah masyarakat, tidak hanya sekadar hadir sebagai sosok wanita atau perempuan yang menjalankan kodratnya, akan tetapi harus mampu tampil sebagai sosok wanita yang “Polisi”, wanita yang berjiwa polisionil atau mampu menjalankan tugas-tugas Kepolisian dengan paradigma sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional, proporsional, transparan, obyektif, jujur dan adil, sebagaimana cita-cita UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Sejatinya kini, peran POLWAN pada institusi POLRI haruslah sudah teroptimalkan dengan pemberian fungsi dan peran yang optimal pula. Semua menjadi harapan semua pihak. Betapa tidak, sampai kini, penghormatan terhadap POLWAN tampak belum optimal, meski derajat “diskriminasi” tampak mulai berkurang. Sebagai aset yang potensial untuk ditugaskan dalam segala bidang garapan, peran POLWAN masihlah dikesampingkan. Peran POLWAN masih cenderung minim dan terbatas pada bidang-bidang tertentu yang identik dengan dunia kewanitaan, seperti bidang pembinaan masyarakat, pendidikan dan latihan, serta tata usaha atau administrasi.
Realitas itulah yang menjadi bukti jika peran petugas wanita masih sebatas pendukung atau pelengkap petugas pria. Meskipun saat ini telah ada beberapa petugas wanita yang menduduki jabatan tertentu seperti menjadi Kepala Polsek dan Kepala Polres, bahkan Kapolda, namun hal itu belum menjadi penanda optimalnya penghormatan terhadap gender pada tubuh POLRI.
Adalah sebuah keharusan untuk memenuhi kebutuhan tersebut seiring dengan makin kompleksnya tuntutan tugas. Ternyata, keberadaan petugas POLWAN mampu menjadi harapan dalam memperbaiki citra POLRI. Sebagai contoh, tampilnya POLWAN di lapangan sedikit banyak mampu meredam cibiran masyarakat terhadap POLRI. Kesabaran, ketelatenan, dan ketidakerasan, setidaknya telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan POLRI. Karena fakta itulah, sekarang ini tidak ada pilihan kecuali harus mengoptimalkan peran POLWAN dalam pelaksanaan tugas dan fungsi POLRI. POLWAN jangan hanya sekadar pelengkap atau pendukung, tetapi harus ditampilkan sebagai pelayan terdepan dalam berbagai bidang tugas atau fungsi POLRI.
POLWAN DAN TANTANGAN
Peran POLWAN dalam pelaksanaan tugas POLRI ke depan semakin berat, berbagai tantangan tugas POLRI yang semakin kompleks sehingga POLWAN harus tetap dapat diandalkan POLRI sebagai anggota Polisi yang profesional. Tak hanya menjadi tenaga administrasi, tetapi peran POLWAN juga harus bersentuhan dengan masyarakat dalam pelayanan, sehingga masyarakat dapat merasakan adanya sentuhan POLWAN yang dapat pula menyelesaikan berbagai permasalahan sosial di tengah masyarakat, agar tidak berkembang menjadi suatu pelanggaran atau tindak pidana. Di samping itu, POLWAN harus mampu menempatkan dirinya, menjaga harga dirinya, di manapun, kapanpun, dan dalam tugas apapun, sehingga bermanfaat bagi organisasi Kepolisian dan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka terdapat tantangan yang akan terus dihadapi POLWAN dalam menjalankan tugasnya, yaitu:
Internal
Pertama, insan POLWAN tidak hanya dituntut profesional sebagai anggota POLRI tetapi juga mempunyai peran ganda yang tidak boleh diabaikan, yaitu sekaligus sebagai insan yang mempunyai keluarga yakni sebagai isteri dan sebagai ibu yang harus berjalan sinergi satu sama lain. Semangat untuk berprestasi dan kesuksesan untuk mencapai karier di kepolisian harus pula diikuti keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga. Sebagai bagian integral POLRI, mereka harus tetap mampu meningkatkan profesionalisme. Bahkan, diharapkan mampu menjadi idola masyarakat di mana pun berada, baik di rumah dengan tetangga maupun saat berada di lapangan tugas. Apalagi saat ini POLWAN mendapat kesempatan yang luas untuk menduduki jabatan strategis, semacam Kapolsek, Kapolres bahkan Kapolda. Tentunya ketika jabatan strategis itu diusungkan ke pundak, semakin beratlah masalah yang kemudian harus dipecahkan. Seiring perjalanan waktu, ternyata ketika bertugas di lapangan, POLWAN mendapat tempat di hati masyarakat.
Kedua, kuota POLWAN. POLRI perlu mengeluarkan kebijakan untuk membuka seluas-luasnya penerimaan POLWAN dalam berbagai strata, baik lewat Akpol, Perwira Karier, ataupun jenjang di bawahnya. Timpangnya jumlah POLWAN sebesar ± 3 persen dari ± 450 ribu jumlah personel POLRI menjadi kendala dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun, jumlah POLWAN POLDA DIY di atas rata-rata nasional sebesar 5,1 persen, tetap harus diperhitungkan kecukupan dengan kebutuhan tugas dan rasio penduduk.
Ketiga, mengubah paradigma bahwa POLWAN tak sekadar pelengkap bagi Polisi laki-laki di tubuh POLRI bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain penekanan pada peningkatan kemampuan akademik, mental, dan fisik, kemampuan manajerial dan rasa percaya diri juga memiliki andil dalam pembentukan karakter seorang POLWAN. Mendorong peningkatan Kuota POLWAN di tubuh POLRI sebesar 30 persen memang penting. Namun, akan menjadi sekadar angka tanpa makna jika penambahan jumlah POLWAN tidak diiringi dengan peningkatan kompetensi dan keinginan untuk menduduki posisi yang menantang. Di lain pihak, Pimpinan POLRI perlu memberikan kesempatan yang sama kepada POLWAN untuk mengembangkan kemampuan dalam memimpin. Dengan mengembangkan kemampuan memimpin, diharapkan POLWAN siap dengan berbagai tantangan dan tanggap terhadap berbagai ancaman dan tantangan di masyarakat, dengan berpedoman pada upaya perbaikan citra POLRI.
Eksternal
Pertama, tugas POLWAN terus berkembang tidak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak dan remaja, narkotika dan masalah administrasi bahkan berkembang jauh hampir menyamai berbagai tugas Polisi laki-laki. Kenakalan anak-anak dan remaja, kasus perkelahian antar pelajar yang terus meningkat dan kasus kejahatan wanita yang memprihatinkan. Dewasa ini adalah tantangan amat serius Korps POLWAN untuk lebih berperan dan membuktikan eksistensinya di tubuh Polri. Tantangan terpenting bagi POLWAN di Indonesia adalah bukan pada ”tuntutan” kesetaraan jabatan dengan Polisi laki-laki saja, namun lebih dari itu tantangan terpenting adalah bagaimana POLWAN mampu menunjukkan performa dalam melaksanakan pekerjaan ”the real police job” di lapangan. Terlebih, dalam menghadapi perkembangan zaman, khususnya tentang berbagai permasalahan sosial di masyarakat yang berkaitan dengan perempuan dan anak.
Kini POLWAN menjadi salah satu kunci bagi perbaikan citra POLRI dan Reformasi POLRI yang tengah berlangsung. Bagaimanapun peran POLWAN, yang di masa lalu dianggap kurang diberdayakan dan hanya berkutat di belakang meja sebagai tenaga staf, kini mulai dipasang menjadi garda terdepan bagi pemulihan dan perbaikan citra POLRI. Meski dalam praktik operasionalnya masih perlu ditingkatkan kembali. Tidak hanya sekedar menjadi pelengkap bagi kerja-kerja anggota Polri yang lain, tapi menjadi satu faktor penentu hitam putihnya citra POLRI di masa yang akan datang. Bahkan dengan peran POLWAN yang simpatik dan menarik mampu melahirkan suatu dorongan dan kesadaran untuk patuh pada hukum, yang tentunya mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi POLRI mewujudkan kamtibmas.
Kedua, inklusif dengan masyarakat. Dengan karakter khusus yang dimiliki kaum perempuan yakni sikap empati, akan memudahkan bagi POLWAN untuk dekat dengan masyarakat. Kebijakan POLRI untuk menjadikan polisi lebih humanis dalam melayani masyarakat dengan mengedepankan POLWAN patut didukung. POLWAN memiliki kemampuan untuk mengajak masyarakat dalam penegakan hukum. Selain itu, perempuan memiliki metode pendekatan yang mudah diterima masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan KAPOLRI yang ingin menempatkan dua POLWAN di setiap Polsek patut diapresiasi.
POLWAN yang ditugaskan di satuan tugas wilayah tertentu dituntut untuk adaptif dengan kondisi masyarakat setempat. Jangan jadikan seragam yang dikenakan untuk menciptakan jarak dengan masyarakat. POLWAN perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang memudahkannya untuk dekat dengan masyarakat. Kenali kondisi sosial-budaya, adat-istiadat, dan kearifan lokal setempat. Belum lama ini, kita menyaksikan Bhayangkari dan POLWAN Polda DIY melakukan pemecahan Rekor Muri dengan melakukan 1000 Membatik Jumputan, menjual jamu, dan penggunaan kebaya pada momen tertentu. Kegiatan yang patut diapreasiasi dan perlu ditambah variasi kegiatannya. Masyarakat pun merindukan peran POLWAN di luar penegakan hukum. Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, tindakan sosial POLWAN dalam membantu kesulitan dan musibah yang tengah dihadapi masyarakat amat diharapkan, misalnya dalam hal terjadinya bencana alam. Dengan kegiatan sosial kemasyarakatan maka memudahkan penerimaan masyarakat akan kehadiran POLRI.
Kini, di usia yang ke-68 merupakan waktu yang cukup dewasa untuk keberadaan POLWAN dalam mengemban tugas mulia. POLWAN dalam tugasnya sebagai abdi masyarakat dari tahun ke tahun dituntut agar betul-betul menjadi anggota POLRI yang profesional, mahir, dan modern.
Tepislah anggapan bahwa posisi POLWAN di intitusi POLRI hanya sebagai pemanis meja depan ruang pejabat, namun juga eksistensinya sebagai polisi yang perlu dipertanggungjawabkan. Buktikan bahwa POLWAN dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Teruslah tumbuh dan berkembang dalam dinamika masyarakat. Jadilah pribadi yang dapat diandalkan, “Bukan sekadar mawar penghias taman, melainkan melati pagar bangsa”. Wujudkan POLWAN sebagai bagian kekuatan tak terpisahkan pelaksanaan tugas dan fungsi POLRI sebagai alat penegak hukum, pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan masyarakat, sesuai semboyan “Esthi Bhakti Warapsari”.
Terakhir, organisasi yang baik adalah yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan mampu menerima kritikan dan masukan dari luar. Demi kamajuan dan manfaat yang kehadiran POLRI di tengah-tengah masyarakat, kami mengharapkan POLWAN baik secara aktif maupun proaktif dapat menerima dan menjaring masukan dari masyarakat demi perbaikan dan eksistensi institusi.
Dirgahayu POLWAN, 1 September 2016