Selasa, 15 November 2016

Catatan Sederhana Hakim ‘Zaenal Arifin’



Menyopir Demi Menjaga Integeritas Hakim

Salam X-Kars
Bondowoso, www.radarbesuki.com
Kian banyak orang yang bilang, adalah utopia kekuasaan di Indonesia bisa steril dari korupsi. Memang, rakyat terlalu sering menyaksikan kekuasaan sebagai ladang subur mengumbar nafsu angkara, rakus, dan gampang menyingkirkan sesama.

Makanya, tatkala ada seorang hakim tinggi yang diketahui jadi pejabat termiskin, itu kemudian jadi tanda tanya besar. Benarkah itu? Apakah ia tidak menyembunyikan kekayaannya?

Pertanyaan itu boleh saja berkembang menjadi kecurigaan. Maklum, di Indonesia kejujuran sudah selangka ketulusan. Tapi, H Zainal Arifin SH, telah tercatat sebagai hakim tinggi termiskin versi Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).

Tahun 2001, Zainal yang menjadi Hakim Tinggi di Jawa Timur, diperiksa oleh sejumlah pejabat KPKPN. Hasil audit KPKPN, Zaenal tercatat sebagai hakim yang paling miskin. Catatan hartanya, ia punya rumah di Perumnas II Bekasi yang harganya Rp 38 juta, mobil Mitsubishi Galant senilai Rp 81 juta, dan sepeda motor Honda Legenda senilai Rp 7 juta.

Zainal adalah satu dari tujuh anggota Komisi Yudisal sekarang. Ia lolos seleksi setelah bersaing dengan puluhan hakim, akademisi, dan pratisi hukum di Tanah Air. Dalam verifikasi, Zainal sempat lolos sebagai 14 calon anggota Komisi Yudisial. Selanjutnya, nama-nama tersebut diajukan ke DPR. Dalam tempo 30 hari, DPR lantas memilih dan menetapkan tujuh anggota Komisi Yudisial.

Terpilihnya Zaenal Arifin jadi anggota Komisi Yudisial ini sungguh di luar dugaan. Pasalnya, saat fit and proper test di DPR, dari unsur mantan hakim ada dua kandidat terkuat, yakni H Benjamin Mangkoedilaga SH dan Margana SH. Keduanya adalah hakim agung. Sedangkan Zainal sendiri hanya hakim tinggi.

Namun pilihan DPR tetap jatuh pada Zainal bersama enam anggota lainnya, yakni M Busro Moqoddas SH (akademisi hukum), HM Irawadi Joenoes (praktisi hukum/mantan jaksa), Soekotjo Speparto SH LM (anggota masyarakat/mantan anggota KPKPN), Prof Dr Chatamarrasjid SH (akademisi hukum), dan Thahir Saimima (praktisi hukum/mantan anggota DPR).

Awalnya, pria yang punya 10 anak ini tahu ada pendaftaran anggota Komisi Yudisial, Februari 2005. Kala itu, Zainal membaca iklan di koran nasional terbitan Jakarta. Zaenal akhirnya mendaftarkan diri. “Saya tertarik karena komisi ini bersifat independen yang diatur Undang-Undang Dasar. Apalagi punya kewenangan mengawasi kinerja hakim,” tuturnya.

Dan beban berat itu harus dipikul Zainal Arifin. Ia mengemban tugas mulia: memperbaiki wajah bopeng peradilan di Tanah Air. Khususnya, mengawasi kinerja sekitar 6.000 hakim yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Anggota KY punya kewenangan untuk merekomendasi sanksi bagi hakim nakal kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Peran yang dilakoni Zainal tentu saja tak mudah. Bahkan banyak kalangan melihatnya pesimistis. Sebab, tak bisa dipungkiri lagi, di lapangan banyak sekali mafia-mafia peradilan yang bergentanyangan. Mereka bisa memainkan putusan pengadilan, meski harus memberangus perasaan keadilan.

“Jujur memang tak mudah. Tapi saya kepingin pengadilan yang berwibawa dan dihormati,” begitu ucap Zainal Arifin saat saya temui di rumahnya di bilangan Perumahan Pondok Tjandra Indah, Sidoarjo.

Lantas, bagaimana menanggapi pesimisme masyarakat atas kinerja Komisi Yudisial? Ditanya itu, Zainal terdiam sejenak. Ia lalu berkata, “Masalahnya sekarang memang terkait kejujuran. Dan itu bukan hal yang mudah ditegakkan. Makanya, komitmen ini harus dijaga betul oleh pata anggota Komisi Yudisal. Satu orang saja yang komitmennya melenceng, ya habislah.”

***

Lahir di Bondowoso, 11 November 1940, Zainal tergolong sosok ulet. Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya, ia merupakan aktivis yang cukup vokal. Berbagai kegiatan mahasiswa diikutinya.

Karier sebagai hakim sudah dilakoninya sejak tahun 1964. Ia mengawali karier sebagai hakim di PN Bondowoso. Kemudian tahun 1981, ia ditempatkan sebagai hakim di PN Gresik, sampai menjadi asisten Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, 1981-1986.

Zainal kemudian dimutasi menjadi hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kupang, 1987. Lalu, ia melanjutkan tugasnya sebagai Wakil Ketua PN Bukittinggi, 1995. Dua tahun kemudian Zaenal dipindah lagi menjadi hakim tinggi di Jayapura,1997-1999.

Tahun 1999-2004, ia menjadi hakim di Pengadilan Tinggi (PT) di Jawa Timur, Lalu diangkat jadi Wakil Kepala PT di Palu, 2001-2002. Yang terakhir menjabat Kepala PT di Naggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga pensiun, awal Desember 2003.

Zainal tercatat sebagai hakim yang punya track record cukup baik. Ia dikenal tak pandang bulu dalam menyelesaikan perkara-perkara di pengadilan.

Banyak pengalaman hidup yang diakui Zaenal bisa dipetik untuk pelajaran. Semasa jadi hakim Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Ia mencontohkan diri saat menjadi Kepala PT di NAD. Ada kasus mafia peradilan yang ditemukan oleh aparat Kodam di sana. Setelah menyelidiki bukti-bukti dan dianggap akurat, ia tanpa pandang buku menonaktifkan hakim yang nakal itu.

Reaksi keras tentu saja terjadi. Teror datang silih berganti. Tapi Zainal bergeming. Zainal yakin, Allah akan menjaga jiwa manusia yang selalu dan berusaha menjalankan perintah dana amalan yang lurus.

Saat di Bukittinggi lain lagi. Ada anak seorang wali kota yang terlibat kasus perkosaan. Zainal yang menjadi hakim juga tetap bertindak tegas. Yang lucu, ibu anak itu sempat mau berkunjung ke rumahnya. Tujuannya, untuk mengajak ‘berunding’. Namun ketika Zainal keluar, sang ibu tak melanjutkan niatnya, lalu ngeloyor pergi.

Keberanian Zainal itu lantaran ia punya prinsip kuat, tak akan menerima pemberian apapun di luar gaji. Ia menentang tegas bentuk-bentuk penyuapan.

Prinsip itu juga ditanamkan pada keluarganya. “Bahkan ada orang hanya mengirim parcel pun dikembalikan,” ungkap Adil Pranajaya, putra sulung Zaenal Arifin.

Adil juga masih ingat betul ucapan ayahnya, “Jangan pernah menerima suap. Kalau kita berani menolak suap, kita akan diberi Allah jalan kemudahan.”

Kejujuran, bagi Zainal, adalah mahkota hakim. Meski akhirnya ia pun harus rela terlilit kebutuhan periuk nasi. Saat menjadi hakim tinggi di Jayapura, 1997-1999, Zainal benar-benar merasakan kepahitan hidup. Gajinya hanya cukup untuk makan. Dua tahun lebih ia harus menyiasatinya. Tanggal 1 sampai 20 makan dari gaji. Tanggal 20 sampai 25, ia meminjam di utang koperasi. Tanggal 25 sampai 30, ia makan daun ketela yang diurap dengan kelapa.

Sebelunya, akhir tahun 1965, pascaperistiwa G30S/PKI, Zainal juga dihadapkan kondisi perekonomian yang tak menguntungkan. Saat itu, ia bersama istrinya, Siti Rochana, harus berjuang memenuhi kebutuhan periuk nasi. Belum lagi biaya sekolah anaknya yang makin melangit.

Gaji yang diterima sebagai hakim, rasanya hanya cukup buat makan. Zainal yang saat itu bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Gresik, pun berpikir keras untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Hanya saja, caranya harus halal dan barokah!

Ada dua pekerjaan tambahan yang dilakukan Zainal. Yakni, nyambi sebagai sopir di Jembatan Merah dan menjual bunga di Pasar Kayoon yang juga tempat tinggalnya.

Sebagai sopir, Zainal tak menjalankan sepenuhnya. Istilahnya, ia hanya nyerepi, gantian dengan temannya. “Kalau pagi saya kerja di Pengadilan Negeri Gresik, siang sampai malam saya nyerepi teman saya itu,” kenang dia lalu tersenyum kecil.

Kenapa sampai malam? Ya, pengahasilan sopir itu tak bisa diterima secara langsung. Harus menunggu mobil angkutan dikandangkan dulu. Duitnya yang membawa keneknya. “Setelah terkumpul baru dibagi tiga,” kata Zainal.

Apa harus menyembunyikan jati diri seorang hakim? Tidak. Zaenal teramat dikenal di kalangan sopir. Sebab, Zaenal kerap memimpin sidang tilang di PN Gresik. Yang kena denda tilang termasuk para sopir Jembatan Merah.

Bahkan saking populernya, Zaenal akhirnya diangkat sebagai Ketua Paguyuban Sopir Jembatan Merah. “Saya gembira saja menerima amanah itu,” tutur Zaenal yang rambutnya kini hampir seluruhnya memutih.

Namun dengan penumpang lain lagi. Banyak yang tidak tahu kalau Zainal adalah seorang hakim. Makanya, Zainal hanya tersenyum kecut kala ada penumpang yang mencibir dan mengumpatnya lantaran dianggap tak becus jadi sopir.

Sedangkan usaha di Pasar Kayoon lebih banyak dikelola istrinya, Siti Ruchana. Di pasar itu, ia jualan bunga, pupuk, dan bibit tanaman. Pengalaman jualan bunga itu juga sangat merasuk hati Zaenal dan keluarganya. Betapa tidak, ia tak jarang harus berhadapan dengan pembeli yang menujuk dengan kakinya untuk memilih tanaman. Tapi semua perlakuan itu semua diterimanya dengan lapang dada.

Zainal mengaku harus berpikir seribu kali untuk menodainya sepak terjang hidupnya yang penuh liku tersebut. Apalagi melihat hasil Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), 2001. Zainal ditempatkan di urutan pertama pejabat termiskin di Jawa Timur. “Saya sungguh tak tahu dengan predikat itu. Hanya mungkin bagi saya terlalu berlebihan,” ucap Zainal.

Zainal menceritakan, tatkala berita itu dimuat di media massa, ada kejadian menggelikan. Ketika itu, Zainal bersiap-siap berangkat ke Bandara Juanda untuk mengikuti acara serah terima jabatan Wakil Ketua PT Palu. Adil Pranajaya, putra sulungya, memberi tahu soal berita di koran hasil pemeriksaan KPKPN. Namun setelah dicari korannya nggak ketemu. Bekalangan diketahui, kalau korannya telah dirobek cucunya. Gara-garanya, ia malu kakeknya disebut pejabat termiskin.

Semasa jadi hakim hingga pensiun, Zainal dikenal sebagai seorang yang religius. Ia tak pernah melewatkan menjalan puasa Nabi Daud, yakni sehari puasa, sehari tidak.

Ia menjadi ketua takmir masjid di kampungnya. Ia sangat aktif memberdayakan masjid. Tiap salat Jumat, Zainal selalu mendahului datang ke masjid untuk mengepel dana menggelar tikar. Pulangya, ia paling belakangan, karena harus menggulung tikar masjid lagi. Saat saya mewawancarainya pun terpaksa dihentikan karena satu jam lagi akan dilaksanakan salat Jumat.

Pengalaman hidup itu memberikan pelajaran berarti bagi Zainal. Makanya, dengan jabatan yang disandangnya sekarang sebagai anggota Komisi Yudisial, ia ingin mengabdikan sisa umurnya kepada bangsa dan negara. Katanya, sumpah yang ia ucapkan bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan, tapi juga Allah Azza Wajalla.
(c0v: Rabi)