X-Kars
Integritas Terjaga Dalam Kekerabatan dan Agama
Sebagaimana dikatakan oleh Geertz (1981), yang dimaksud dengan
unsur-unsur primordial adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir
dari yang ‘dianggap ada’ dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari
hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi
keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu atau
dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu.
Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan
sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan". *radar besuki*
Menurut Glaser dan Moynihan (1981), yang termasuk unsur-unsur penting
primordial adalah genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem
kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa.
Dalam realitas
kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama
dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi
penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan
perilaku budaya mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang
dimiliki oleh suatu kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas
diri dari suatu kelompok etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial,
perilaku budaya merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus
dilakukan secara kontekstual. *radar besuki*
Artinya, setiap orang
dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami
makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama
terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan subyek sangat
penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi
sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat
meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau
kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku
etnosentrisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial.
Elemen
penting primordial yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam
interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura,
ikatan kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga
berdasarkan garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal
relatives). Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota
keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung
"mendominasi". Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat
generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending
generations) dari ego.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura
dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu
taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat
dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral
kin). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang
luar) atau "bukan saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya,
meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi
hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya
karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan
sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan
orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul
kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada
adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga
karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila
kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka
akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan).
Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan
ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga
atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah,
misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam
ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan
daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap
sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan
keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung
makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi
sosial dengan kelompok etnik lain.
Selain ikatan kekerabatan, agama
menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suatu kelompok
masyarakat. Bagi orang Madura faktor ini seakan sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari jati diri mereka. Artinya, jika orang Madura telah
menjadi pemeluk agama selain Islam, dirinya akan merasa identitas
ke-Madura-annya telah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bahkan,
lingkungan sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada gilirannya, dia
akan selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial budaya
Madura.
Hanya culture Ke Madura annya yang mampu menyatukan tekad,
karena identitas budaya akan mengantar niat dalam menggapai asa.
Soliditas yang tinggi dapat memfilterisasi budaya global, sehingga ke
arifan lokal akan semakin jelas dalam menunjukkan jati diri. Besuki
adalah milik kita semua yang konsisten memelihara harga diri dalam
budaya yang haqiqi. (Gus A'ang)