Naik
Haji di Mata Orang Madura
Radar
Besuki
Kalau
Orang Madura Naik Haji", bukan judul sinetron televisi, tetapi merupakan
fakta penyelenggaraan ibadah haji di Jawa Timur pada tahun ini. Ya,
calon haji (calhaj) dari Madura akan menjadi kelompok terbang (kloter) paling
awal yang berangkat dari Asrama Haji Embarkasi Surabaya pada 9 Agutus 2016
esok.
Pemerhati masalah Madura Syarif Hidayat
Santoso mengungkapkan haji memiliki makna khusus bagi masyarakat Madura.
Menurut dia, dalam kultur Madura barat biasanya orang yang sudah pergi haji
disebut dengan towan, sehingga muncul sapaan mas towan, kak towan, buk
towan, atau pak towan.
"Ada dua pemaknaan towan di Madura.
Secara istilah, towan sama artinya dengan tuan dalam Bahasa Indonesia. Namun,
secara kultural, towan merupakan sebutan populer bagi komunitas Indo Arab yang
berdomisili di Madura," kata dia, dikutip dari Antara, Senin (8/08/2016).
Artinya, kalau seseorang disebut towan,
berarti dalam darahnya mengalir darah hibrida Madura dan Hadramaut. Tapi,
istilah ini ternyata dipakai juga untuk menyebut orang yang baru "toron
ajji" (turun haji atau datang dari Tanah Suci).
Jadi, penisbahan istilah "towan"
terhadap para haji tidak menunjukkan intervensi terhadap kemapanan status orang
Arab di Madura. Juga, bukan berarti orang Madura ingin bergabung kedalam
komunitas Arab. Mereka hanya ingin mengikatkan diri secara psikologis dengan
tanah arab yakni Mekkah, bukan dengan identitas Arab secara biologis.
Pengikatan itu dikaitkan dengan konsep Mekkah
sebagai "Ummul Qura" (ibu negeri-negeri). Haji seakan menunjukkan
adanya persentuhan dengan ibu yang sebenarnya, sehingga boleh menyebut dirinya
memiliki hubungan imajiner dengan ibu negeri, yaitu Mekkah. Cara mengikatkan
diri dengan konsep ibu negeri ini tak lain dengan menyebut diri sebagai towan.
Dengan istilah towan, para haji Madura
mengikatkan diri pada dua tanah sekaligus yaitu tanah kelahirannya, Madura, dan
tanah kiblat agamanya, Mekkah. Hal ini mirip para towan yang bercampur dalam
dirinya antara darah Arab dan Madura sekaligus.
Dalam satu dua kasus, memang ada kemiripan
antara Madura dan Arab. Contohnya dalam perayaan Idul Adha. Di daerah-daerah
lain di Indonesia, Idul Adha tak dirayakan semeriah di Madura. Orang Madura
biasa menyebut Idul Adha dengan Tellasan Rajha (hari raya besar).
Penyebutan ini mirip dengan istilah Ied Al
Kabir di Timur Tengah. Perayaan Idul Adha di Arab memang lebih meriah daripada
perayaan Idul Fitri, karena berdekatan dengan penyelenggaraan ibadah haji
sebagai prosesi akbar setiap Muslim. Di Madura pun begitu. Idul Adha dirayakan
lebih meriah daripada Idul Fitri (Tellasan Agung).
Ketika "toron ajji", maka para
towan disambut bak orang penting. Prosesi ini disebut "ngamba
ajjiyan" (menunggu haji). Prosesi ini adalah kelanjutan dari "ngater
ajjiyan" (mengantar haji) yang dilakukan sebelumnya.
Dalam dua prosesi tradisional itu,
orang-orang Madura terutama dari desa berbondong-bondong untuk mengiringi pergi
dan kembalinya para haji. Setiap haji disambut ratusan penjemput dalam konvoi
meriah lengkap dengan nyanyian shalawat plus tetabuhan hadrah di atas mobil
terbuka.
Menjelang keberangkatan, para tamu semakin
membeludak. Ibarat orang mau perang, sebelum meninggalkan rumah, para calon haji
di-azan-i. Suasana ketika itu senyap. Hanya isak tangis keluarga, tetangga, dan
sanak famili. Semua hanyut dalam kesenyapan sembari mendoakan agar si calon
haji pulang dengan "kemenangan" (kemabruran).
Ketika sampai kediaman masing-masing, para
haji didoakan hingga mereka datang, lalu kedatangannya pun disambut dengan
prosesi selamatan yang kalau di desa bisa sampai 40 hari. Selama 40 hari itu,
para kerabat dan tetangga datang untuk asajarah (berkunjung) terhadap para
haji.
Dalam prosesi asajarah, para haji mendapat
simbol baru sebagai "oreng sokkla" (orang suci), sehingga pasti
dimintai doa oleh para tamu. Asajarah mutlak dilakukan para kerabat tetangga
sebagai pencerminan nilai "asepat sama bashar" (bersifat maha melihat
dan maha mendengar).
Dalam nilai itu, seorang Madura harus selalu
mendayagunakan panca inderanya untuk peka terhadap lingkungan, kalau tidak mau
dibilang "ejhin" (individualis).
Biasanya terjadi pertukaran komoditas, karena
para tamu membawa bahan-bahan pokok untuk disumbangkan dalam selamatan. Ketika
pulang, merekapun membawa oleh-oleh dari para haji.
Jadi, para haji tidak hanya mengabdi pada
performanya sendiri, tapi juga memperkuat solidaritas sosial melalui
pengabdiannya pada lingkungan kultur. Ya, haji di Madura itu merupakan prosesi
"bersatunya" ritual dan kultur. (rabi)