Sabtu, 15 Oktober 2016

Rekam Jejak Dimas Kanjeng Taat Pribadi

Salam X- Kars

Rekam Jejak Dimas Kanjeng Taat Pribadi

 Tersangka Dimas Kanjeng Taat Pribadi digiring petugas usai melakukan rekontruksi pembunuhan Abdul Gani di padepokannya Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10).

Siapa sebenarnya Dimas Kanjeng? Mengapa banyak orang percaya padanya? Bagaimana caranya menarik pengikut? Kisah ini datang dari Dusun Sumber Cangkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Di sana, berdirilah Padepokan Dimas Kanjeng.Nama padepokan itu, merujuk pada tokoh utama sekaligus pemimpinnya, Dimas Kanjeng Taat Pribadi (46), yang konon punya kesaktian menggandakan uang--para pengikutnya lebih suka menyebut "mengadakan uang". Kesaktian itulah yang mengundang banyak orang untuk bergabung.

Dimas Kanjeng berjanji akan menggandakan uang untuk para anggota padepokan (disebut santri). Sekadar ilustrasi, misal seorang santri setor Rp5 juta, bisa berlipat menjadi Rp50 juta, dalam waktu lima tahun. Janji macam itu bikin ribuan orang kepincut jadi anggota Padepokan Dimas Kanjeng. Orang dengan masalah finansial sampai pengusaha kaya pun terpikat. Berlomba jadi santri, berharap fulus tergandakan. Belakangan, Dimas Kanjeng terbelit masalah hukum. 

Dia ditahan Kepolisian Daerah Jawa Timur atas dugaan pembunuhan, Abdul Gani dan Ismail Hidayah. Kedua korban adalah bekas santri padepokan, yang konon berniat membuka kedok Dimas Kanjeng. Penangkapan Dimas Kanjeng pun terbilang tak biasa. Sekitar seribu personel gabungan Polda Jatim dan Polres Probolinggo diturunkan demi meringkus pria setengah tambun itu. Pasca-penangkapan, satu per satu mantan santri dan korban ikut melaporkan Dimas Kanjeng ke Polda Jatim atas kasus penipuan penggandaan uang.

Ada yang mengaku menyerahkan ratusan juta kepada Dimas Kanjeng. Bahkan, seorang pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, Nur Najmul Muin, melaporkan bahwa almarhumah ibunya ditipu sekitar Rp200 miliar. Lantas, siapa sebenarnya Dimas Kanjeng? Mengapa banyak orang percaya padanya? Bagaimana caranya menarik pengikut? Kenapa dia terbelit kasus pembunuhan? ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di muka.

Jalan menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur mulus beraspal. Lebarnya sekitar empat sampai lima meter, bisa dilewati dua mobil berpapasan. Dulunya, jalan yang menghubungkan Desa Gading Wetan dan Wangkal ini hanyalah jalur tanah nan sempit. Bila diguyur hujan, jalan itu pasti becek dan berlumpur. Motor pun susah melintas.

Semua berubah, sejak Dimas Kanjeng Taat Pribadi kondang. Jalan itu diperbaiki olehnya. Dia membeli tanah sawah milik warga yang ada di sekitar padepokannya, dan menghibahkan beberapa meter untuk pelebaran jalan.
"Pemilik tanah sawah ini senang sekali, karena Dimas Kanjeng membeli tiga kali lipat dari harga pasar," kata Supriyono, Kepala Desa Gading Wetan.

Meski begitu, pelebaran jalan hanya mengakomodasi tamu-tamu Dimas Kanjeng. Warga sekitar atau orang lain terhalang portal. Penjaganya pria berpotongan cepak bak tentara. Hanya kendaraan tamu atau santri Dimas Kanjeng yang bisa lepas dari portal. Orang lain silakan memutar.
Namun warga tak terlalu peduli batasan itu. Pasalnya, warga Desa Wangkal dan Gading Wetan juga ikut menikmati keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng.

Mereka mengais rezeki dari menyewakan kamar kos untuk para santri Padepokan Dimas Kanjeng. Kamar disewakan dengan harga 250-500 ribu rupiah (per kepala, per bulan). Selain itu, warga juga mengais rezeki dari usaha ojek dan kuliner. "Sebelum Dimas Kanjeng ditangkap, warga bisa dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu dalam sehari dari ngojek, sangat gampang," kata Supriyono.
Gairah ekonomi itu muncul seiring kesohornya kesaktian Dimas Kanjeng, yang konon bisa menggandakan uang. Sehari-hari, ribuan orang bisa hadir di padepokannya.

Gerbang menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kabupaten Probolinggo. Statusnya dalah jalan desa, tapi tak semua orang bisa masuk.

Gerbang menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kabupaten Probolinggo. Statusnya dalah jalan desa, tapi tak semua orang bisa masuk. 
Informan  seorang jurnalis di Probolinggo, punya cerita soal Dimas Kanjeng. Dalam ingatannya, Dimas Kanjeng mulai "berpromosi" ihwal kemampuan menggandakan uang sekitar tahun 2006. Dia ingat momen kala diajak teman sesama jurnalis untuk menghadiri acara Dimas Kanjeng. Acaranya bisa ditebak, Dimas Kanjeng unjuk kesaktian.
Setelah acara itu, tiap kali Dimas Kanjeng punya hajatan, jurnalis lokal di Probolinggo mesti diundang. Paling sering, berupa acara bagi-bagi santunan kepada warga fakir dan anak yatim. Para jurnalis yang meliput juga kecipratan santunan. Kalau mau, boleh diterima. Bila enggan, bisa ditolak. 

Hubungan manis Dimas Kanjeng dengan jurnalis mulai renggang sekitar tahun 2010. Saat itu, Dimas Kanjeng mulai beken. Jurnalis kian sulit mendekat. Banyak sosok mirip tentara berada di sekitarnya. Meski demikian, informan menyebut Dimas Kanjeng adalah orang yang sopan, dengan nada bicara nan halus, pun bukan tipe orator. "Dimas Kanjeng orang yang tak bisa berbicara sampai berbusa-busa," kata dia. Perihal kesopanan itu diamini oleh Sholahudin (46), teman kecil Dimas Kanjeng di Desa Wangkal--yang rumahnya berjarak sekitar 30 meter dari rumah orang tua Dimas Kanjeng. 

Sholahudin menyebut Dimas Kanjeng dilahirkan dari keluarga yang mapan untuk level desa. Dia anak keempat dari enam bersaudara. Dua laki-laki dan empat perempuan.
Bapaknya bernama Mustain, bekerja sebagai polisi. Warga biasa menyapa Mustain dengan sebutan "Pak Kumendan" (komandan). Mustain memang pernah menjadi Kepala Polsek Gading--kecamatan tempat Dimas Kanjeng menetap. Meski anak polisi, kata Sholahudin, Dimas Kanjeng tak suka bikin onar.

Selepas SMA, Dimas Kanjeng sempat kuliah di salah satu universitas swasta di Malang. Namun kuliahnya putus di tengah jalan.Pada usia 24, Dimas Kanjeng menikah dengan Rahma Hidayati. Jodohnya itu bukan orang jauh, melainkan tetangga sekampungnya. Setelah menikah, Dimas Kanjeng tinggal di rumah keluarga Rahma. Kelak, rumah itu jadi bangunan induk dalam area Padepokan Dimas Kanjeng.
Sebelum beken dengan kesaktiannya, warga desa mengenal Dimas Kanjeng sebagai pengikut dari Yayasan Amalillah.
Yayasan pimpinan Raden Aiyon Suharis Restuningrat itu juga menjanjikan keuntungan finansial. Dengan membayar iuran minimal Rp20 ribu, yayasan berjanji memberikan Rp55 triliun untuk modal kerja bagi para makmum--sebutan untuk anggota.

Abu Hasan (51) atau kerap disapa Pak Ir, adalah salah satu tetangga Dimas Kanjeng yang ikut jadi korban yayasan itu. Sekitar tahun 2000-an, Pak Ir mengikuti ajakan Dimas Kanjeng untuk bergabung dengan Yayasan Amalillah. Ia menyetor sejumlah uang dan fotokopi KTP. "Tapi saya cuma setor Rp20 ribu. Saya beruntung karena tidak rugi banyak," kata Pak Ir. Dalam kasus itu, Dimas Kanjeng tak sampai berhadapan masalah hukum, tapi dia sukses memikat sejumlah warga Desa Wangkal.

Adapun bagi warga Desa Wangkal, kasus Yayasan Amalillah setidaknya menjadi sinyal. Mereka jadi mafhum rekam jejak Dimas Kanjeng. Walhasil, ketika "anak Pak Kumendan" itu mengklaim punya kesakstian mendatangkan uang, warga tak mudah percaya.

Ketua Yayasan Dima Kanjeng, Marwah Daud Ibrahim, saat berada di Padepokan Dimas Kanjeng, untuk menemui anggota Komisi III DPR RI yang berkunjung ke sana (1 Oktober 2016).

Ketua Yayasan Dima Kanjeng, Marwah Daud Ibrahim, saat berada di Padepokan Dimas Kanjeng, untuk menemui anggota Komisi III DPR RI yang berkunjung ke sana (1 Oktober 2016). 
Namun, ada pula orang yang terkesima dengan klaim Dimas Kanjeng. Kebanyakan dari mereka justru bukan warga sekitar.Semisal, Marwah Daud Ibrahim (59), yang menjabat Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng. Perempuan berjilbab itu bukan orang sembarangan. Dia tokoh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan pemegang gelar doktor dari The American University, Washington DC, AS. Marwah mengaku, pertama kali mendengar kabar kemampuan Dimas Kanjeng antara tahun 2011-2012. Kala itu, seorang kawannya menunjukkan video aksi Dimas Kanjeng mengandakan uang. "Saya, saat itu bilang, ah apaan sih ini," kata Marwah, kepada wartawan di Padepokan Dimas Kanjeng.

Meski sempat meragukan, rasa keingintahuan menuntun Marwah untuk mencari bukti. Medio 2012, Marwah bertandang ke Padepokan Dimas Kanjeng. Saking inginnya bertemu Dimas Kanjeng, Marwah rela menginap selama seminggu. Namun mereka belum ditakdirkan untuk bertemu. "Beliau sangat sibuk sekali. Meski sudah menginap seminggu, tetap belum bisa menemui beliau," ujar dia.
Marwah mengklaim butuh setahun guna menelaah kemampuan Dimas Kanjeng mengadakan uang. Pengikut Dimas Kanjeng memang tidak menggunakan istilah "menggandakan uang". Kata Marwah, "menggandakan" itu berarti membuat uang dari satu menjadi dua lembar, dan seterusnya. Hal itu seperti lebih mirip pemalsuan uang. Sedangkan "mengadakan" artinya membuat uang dari yang awalnya tiada menjadi ada.

Selama setahun Marwah berusaha menelaah kesaktian Dimas Kanjeng. Dia pun mencari jawaban lewat metode istikharah ala ICMI, yaitu dengan pendekatan iman dan teknologi. Dari sisi iman, Marwah mengklaim mendapat jawaban dari Al-Quran, saat membaca kisah Nabi Sulaiman, yang bisa memindahkan istana dengan bantuan orang nan dimuliakan Tuhan. Ia menyamakan kisah itu dengan kemampuan Dimas Kanjeng. "Dari kisah Nabi Sulaiman ini saya berpikir, kalau Tuhan menghendaki, semuanya bisa terjadi," tutur dia.Dari sisi ilmu dan teknologi, Marwah sebenarnya tak menemukan jawaban yang pas.
"Saya mencoba menjelaskan itu dengan metafisika. Tapi enggak masuk-masuk. Kemampuan Dimas Kanjeng ini, teorinya di atas itu. Pindah dimensi dari yang nampak, menjadi tak nampak, atau transdimensi," kata dia. 

"Saya sebenarnya juga ingin tahu darimana asal duitnya. 
Tapi kemudian saya berpikir, kamu kan tak perlu tahu sistem bekerja untuk membuat pesawat terbang. Toh kamu yakin terbukti.” Marwah Daud Ibrahim 
 
Walau tak menemukan jawaban pas, Marwah berkukuh meyakini kemampuan Dimas Kanjeng. Marwah menganalogikan keyakinan itu dengan proses penemuan-penemuan besar, semisal pesawat terbang. 

"Kalau kita ngomong ada besi yang bisa terbang di zaman batu, tentu semua orang akan menertawakan. Tapi saya yakin saja. Saya sebenarnya juga ingin tahu dari mana asal duitnya. Tapi kemudian saya berpikir, kamu kan tak perlu tahu sistem bekerja untuk membuat pesawat terbang. Toh kamu yakin terbukti," katanya.

Pergulatan batin juga dialami Imam Muslih (43). Pria yang kerap disapa dengan gelar "ustaz" itu mengaku sebagai jamaah tabligh. Mulanya, Muslih menyimak video aksi Dimas Kanjeng dari salah seorang teman, yang mengajaknya bergabung dengan padepokan.

"Saya ini anggota jamaah tabligh. Saya paling benci dengan orang yang menyimpang. Tugas saya untuk memperingatkan mereka," kata pria yang kesehariannya menggunakan baju gamis dan celana gombroh di atas mata kaki itu. Meski geram, Muslih tak langsung menolak. Kepada temannya, Muslih meminta waktu untuk memberi jawaban. "Malam harinya, saya salat istikharah. Setelah salat, sambil setengah mata mengantuk, tiba-tiba di depan saya muncul sosok Dimas Kanjeng," kata dia.

Keesokan harinya, formulir pendaftaran anggota padepokan Dimas Kanjeng seharga Rp1.250.000 ditebusnya. Muslih bergabung di padepokan itu sejak awal 2013 hingga kini.
Muslih juga menebus berbagai pernak-pernik Dimas Kanjeng, seperti kantung emas seharga Rp10 juta, ATM Dapur, dan berbagai barang lain. Konon, pernak-pernik itu menjadi jalan masuk untuk pencairan uang dan emas. Dimas Kanjeng menjanjikan, pada saatnya kantong emas akan berisi ratusan gram perhiasan, dan emas batangan. Sedangkan ATM Dapur dijanjikan berisi lima juta setiap bulannya.

Muslih juga mengatakan tak pernah Dimas Kanjeng mengaku sebagai kiai, habib, atau ustaz. Bahkan saat salat jamaah di masjid, Dimas Kanjeng tak pernah menjadi imam.
Dimas Kanjeng juga tak pernah memimpin istighosah, pengajian, atau kegiatan keagamaan lain. Pengajian dan istighosah yang dilakukan di padepokan, sekadar dipimpin jajaran pengikut setianya.

"Jangan panggil saya kiai, habib atau ustaz. Nanti yang kiai, habib atau ustaz asli marah. Cukup panggil saya 'Yang Mulia Dimas Kanjeng'. Saya memang spesialis pengadaan," kata Muslih, meniru ucapan gurunya itu. Gelar "Yang Mulia" itu, kian sering digunakan Dimas Kanjeng setelah dinobatkan sebagai Raja Probolinggo oleh Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI) pada 11 Januari 2011.
Dari penobatan itu, Dimas Kanjeng punya gelar lengkap Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Prosesi penobatannya semarak, dengan kehadiran perwakilan 24 kerajaan dan kesultanan di tanah air.

Sejumlah pengikut Dimas Kanjeng bertahan di tenda-tenda Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10).

Sejumlah pengikut Dimas Kanjeng bertahan di tenda-tenda Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10). 
Ihwal banyaknya pengikut Dimas Kanjeng, Muslih mengaku tak heran. Sebab, kata dia, para pengikut Dimas Kanjeng sering menyaksikan peristiwa gaib. Muslih pun berkisah, satu ketika dalam sebuah pertemuan Dimas Kanjeng bertanya kepada pengikutnya, "Mau makan apa?". Salah seorang pengikutnya menjawab ingin makan durian, sate, dan soto. Dimas Kanjeng lantas masuk sebuah ruangan, dan membawakan semua permintaan itu. 

"Memang tak masuk akal. Ruangan itu tak ada jendelanya. Dari mana itu semua? Kami yakin hanya karomah Allah yang membuat itu semua bisa terjadi," kata Muslih. Muslih juga mengaku punya mimpi pribadi, yang membawanya bergabung ke Padepokan Dimas Kanjeng. Pria asal Jember, Jawa Timur ini memiliki pesantren di Lampung Barat dan butuh dana guna mengembangkannya. Kebetulan, Dimas Kanjeng punya program pengembangan masyarakat dengan kemampuannya mengadakan duit.

"Programnya Dimas Kanjeng membangun seribu pesantren, seribu rumah sakit, seribu lembaga pendidikan," ujarnya.
Harapan Muslih mengembangkan pesantren nyaris terwujud. Sinyal itu menguat pada bulan Syawal lalu (Juni-Juli 2016), ketika Dimas Kanjeng memerintahkan semua pengikut merapat ke padepokan. Katanya, waktu pencairan uang sudah dekat. 

Sebelumnya, para pengikut memang terpencar di rumah-rumah penduduk sekitar, atau di rumah masing-masing. Normalnya, mereka datang berkala ke padepokan untuk beberapa hari. Kali ini pengikut diminta merapat agar lebih khusyuk berdoa dan istighosah. Tenda-tenda terpal bertulang bambu pun didirikan di lapangan belakang rumah induk Padepokan Dimas Kanjeng. Pendirian tenda dilakukan swadaya oleh para pengikut. 

Senin 19 September, Dimas Kanjeng kembali memberi harapan pada pengikutnya. "Pencairan kian dekat. Seandainya, Allah mengizinkan, pencairan akan terjadi pada 23 September 2016," bunyi kabar baik itu.
Namun, pencairan tak kunjung terjadi. Dimas Kanjeng telanjur dijemput ribuan pasukan Brimob Polda Jatim. Dia dianggap sebagai dalang pembunuhan, Abdul Gani dan Ismail Hidayah, dua bekas santri yang konon hendak membongkar kedoknya.

"Pencairan batal, karena polisi menangkap Dimas Kanjeng pada 22 September," kata Muslih.
Meski pimpinannya sudah ditangkap polisi, Muslih menyatakan akan terus menetap di padepokan. Dia yakin Dimas Kanjeng tak melakukan pembunuhan seperti yang dituduhkan. Dia juga tetap percaya Dimas Kanjeng mampu mengadakan uang.

Selama di padepokan, sebagai sumber nafkahnya, Muslih mendirikan lapak kecil di belakang masjid, dengan menjual kebutuhan sehari-hari untuk para santri. Belakangan, lapaknya sepi, sebab banyak pengikut memutuskan pulang, setelah Dimas Kanjeng ditangkap.

Ratusan petugas kepolisian mengamankan proses rekontruksi di Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10). Rekonstruksi yang menghadirkan Kanjeng Dimas dan sejumlah tersangka lain tersebut dilakukan untuk pengembangan pengusutan kasus pembunuhan Abdul Gani.

Bila para sultan berkhianat


Ratusan petugas kepolisian mengamankan proses rekontruksi di Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10). Rekonstruksi yang menghadirkan Kanjeng Dimas dan sejumlah tersangka lain tersebut dilakukan untuk pengembangan pengusutan kasus pembunuhan Abdul Gani.
 
Sekitar seribu personel gabungan Polda Jawa Timur dan Polres Probolinggo bersiap di lapangan Desa Wangkal pada Kamis (22/9/2016). Tengah malam baru lepas, sekitar pukul 1.00 dinihari, mereka bersiap untuk menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Memang sebuah pemandangan tak biasa, mengingat rencana mereka sekadar menciduk satu orang belaka, Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Namun pengerahan ribuan personel bersenjata lengkap--dilengkapi kendaraan taktis macam mobil Barracuda--dianggap perlu.
Pasalnya, di dalam padepokan diperkirakan ada sekitar tiga ribu pengikut Dimas Kanjeng. Selain itu, kabarnya, Dimas Kanjeng juga senantiasa dikelilingi orang-orang yang berpostur mirip tentara. Kewaspadaan diperlukan, menimbang kemungkinan perlawanan.

Usaha untuk masuk area padepokan memang sempat terhalang oleh portal yang dibangun pengikut Dimas Kanjeng. Sejumlah batu juga ikut melayang dari gerbang masuk Padepokan Dimas Kanjeng. Demi membubarkan massa, aparat membalas dengan menembakkan gas air mata. Perlawanan kecil itu pun tak berlangsung lama. Begitu berhasil masuk, polisi langsung berpencar ke seluruh area padepokan. Ada yang masuk ke rumah induk tempat tinggal Dimas Kanjeng dengan mendobrak pintu. Ada pula yang menggelar penyisiran di segala penjuru padepokan.
Dimas Kanjeng ditangkap bukan di rumahnya. Aparat memergoki pria yang konon punya kesaktian itu dalam salah satu ruangan yang ada di fitness center milik padepokan. Saat ditangkap, Dimas Kanjeng hanya mengenakan celana pendek, dan kaus berwarna ungu. 

Kala petugas bertanya soal identitasnya, Dimas Kanjeng juga sempat berkelit. Dia sekadar mengaku sebagai "pembantu Dimas Kanjeng". Beruntung, ada seorang petugas buru sergap Polres Probolinggo yang sudah mengenali wajahnya. "Ya. Itu Dimas Kanjeng. Tangkap. Sini kamu," kata petugas itu. Dimas Kanjeng kemudian dimasukkan ke Barracuda milik Brimob untuk dibawa ke Mapolda Polda Jawa Timur di Surabaya. Dalam Barracuda itu, ikut hadir Wakil Kepala Polda Jatim, Brigjen Gatot Subroto, yang memimpin langsung operasi penangkapan. 

Dalam perjalanan ke Surabaya, Gatot juga sempat menantang Dimas Kanjeng. "Kalau memang bisa menggandakan uang, tolong mobil ini dipenuhi dengan uang," kata Gatot. Namun Dimas berdalih, "Tidak bisa Pak. Jinnya sudah lari. Takut dengan gas air mata."
“Tidak bisa Pak. Jinnya sudah lari. Takut dengan gas air mata.” Dimas KanjengSeorang petugas yang terlibat dalam penangkapan mengatakan bahwa semula operasi hanya akan melibatkan tim kecil. Skenarionya, tim kecil itu bakal menciduk Dimas Kanjeng saat malam hari. Jalur evakuasi pun sudah disiapkan.Polisi memang sudah kenal seluk-beluk Padepokan Dimas Kanjeng. Mereka telah mengintai padepokan dan keberadaan Dimas Kanjeng selama tiga bulan. Polisi sudah menanam anggotanya yang menyamar menjadi pengikut Dimas Kanjeng. Namun operasi dengan tim kecil dibatalkan, demi berjaga atas kemungkinan perlawanan.Keterangan bahwa polisi sudah menyusupkan orang untuk memantau situasi diamini seorang anggota Brimob yang ikut operasi penangkapan. Pun ketika rekonstruksi pembunuhan Abdul Gani digelar pada Senin (3/10), seorang pria berpakaian lusuh tampak karib dengan polisi lainnya, padahal wilayah itu sedang ditutup untuk warga biasa. 

"Tampang dan dandanannya memang seperti orang gila. Tapi dia salah satu intel Brimob yang ditanam di sini. Yang saya tahu ada lima orang intel dari Brimob di sini," kata anggota Brimob itu. Menciduk Dimas Kanjeng memang bukan perkara gampang. Padepokan cenderung tertutup, dan hanya orang-orang tertentu yang mengetahui keberadaan Dimas Kanjeng. Polda Jawa Timur sebenarnya sudah beberapa kali mengirim surat pemanggilan untuk Dimas Kanjeng. Dia hendak diperiksa atas dugaan pembunuhan. Namun surat panggilan itu tak diacuhkan.
Soal penangkapan ini, salah satu anggota tim pengacara Dimas Kanjeng, Andi Faisal mempertanyakan jumlah pasukan yang dikerahkan. "Masa sih untuk menangkap seorang Dimas Kanjeng saja sampai harus mengerahkan banyak polisi," ujar dia. Selain itu, Andi juga menyesalkan proses pengambilan barang bukti yang tidak melibatkan pengacara. Padahal saat penangkapan, dirinya ada di Padepokan Dimas kanjeng. Polisi juga dituding mengambil barang bukti tanpa disaksikan keluarga dekat Dimas Kanjeng. Saat pengambilan barang bukti itu, polisi hanya melibatkan kepala desa sebagai saksi.

Atas segala kejanggalan tersebut, Andi mencurigai adanya upaya kriminalisasi terhadap Dimas Kanjeng. Kata Andi, polisi juga belum bisa membuktikan tuduhan-tuduhan yang disangkakan kepada kliennya. "Kami yakin kok, kalau klien kami tidak bersalah," ujarnya.

Bangunan "Fitness Center" milik Padepokan Dimas Kanjeng. Di bangunan inilah Dimas Kanjeng ditangkap pada Kamis (22/9).

Bangunan "Fitness Center" milik Padepokan Dimas Kanjeng. Di bangunan inilah Dimas Kanjeng ditangkap pada Kamis (22/9).
 
Dimas Kanjeng diduga menjadi otak pembunuhan terhadap dua orang pengikutnya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah. Abdul Gani dibunuh pada 12 April 2016 lalu. Merujuk reka ulang pembunuhan pada Senin (3/10), Abdul Gani dibunuh di Asrama Putra Padepokan Dimas Kanjeng. Abdul Gani dibunuh dengan cara dipukul, dijerat, dan dibekap. Setelah dipastikan tewas, mayatnya dimasukkan dalam kotak plastik, yang lantas diangkut dengan mobil untuk dibuang ke Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah.

Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP Taufik Herdiansyah, mengatakan bahwa para pelaku membunuh Abdul Gani karena diduga menyelewengkan banyak uang mahar dari pengikut Padepokan Dimas Kanjeng.Abdul Gani juga dianggap "duri dalam daging" karena memprovokasi pengikut padepokan agar tidak percaya lagi pada Dimas Kanjeng, dan mau bersaksi atas laporan penipuan di Mabes Polri.

Seorang teman dekat Abdul Gani menyebut, rekam jejak korban sebenarnya tidak bersih-bersih amat. Konon, sebelum bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, Abdul Gani pernah berprofesi sebagai wartawan Media Injak Kaki. Selain menjadi wartawan, Abdul Ghani juga bersibuk sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Namun sejak bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, kondisi ekonomi Abdul Gani turut berubah. Dia mengendorkan aktivitas LSM-nya. Di samping bekerja untuk padepokan, dia juga merintis usaha. Abdul Gani membuka toko perhiasan yang menjual emas, permata, dan batu mulia di Probolinggo. Dia bahkan menikah lagi. Istri pertamanya orang Padang, dan istri keduanya artis penyanyi lokal di Banyuwangi. Adapun mayat Ismail Hidayah ditemukan di Desa Tegalsono, Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo medio Februari 2015. Saat itu, mayat Ismail Hidayah sempat dijadikan mayat Mr. X, karena polisi kesulitan mengungkap identitasnya.
Polisi baru berhasil mengungkap identitas Ismail Hidayah, setelah kasus pembunuhan Abdul Gani terkuak. Polisi menduga, Dimas Kanjeng khawatir Ismail Hidayah akan membocorkan rahasia padepokan, sehingga perlu dibungkam. Kepada  seorang yang kenal dengan Ismail Hidayah mengatakan, almarhum sebenarnya "orang biasa-biasa saja". Menurut sumber, sebelum bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, Ismail bekerja sebagai calo Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
"Sudah banyak orang kena tipu dia. Janjinya akan diberangkatkan ke Malaysia untuk jadi TKI," ujarnya. Ismail juga sempat menjadi pedagang keliling menjajakan baju. Dia baru bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng pada 2011. Dia aktif bergiat di sana, sampai ditemukan tewas.

Salah seorang tersangka, Wahyudi, mendapat pengawalan aparatb kepolisian saat menjalani reka ulang pembunuhan terhadap Abdul Gani di Padepokan Dimas Kanjeng (3 Oktober 2016).

Salah seorang tersangka, Wahyudi, mendapat pengawalan aparatb kepolisian saat menjalani reka ulang pembunuhan terhadap Abdul Gani di Padepokan Dimas Kanjeng (3 Oktober 2016). 
Keterangan juga datang dari Satrio, salah seorang pengikut Padepokan Dimas Kanjeng yang karib dengan Abdul Gani.
Menurut Satrio, Abdul Gani mestinya memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri--sebagai saksi, atas laporan penipuan penggandaan uang--pada 13 April silam. Namun, Abdul Gani justru tewas dibunuh pada 12 April.

Kata Satrio, yang juga jadi saksi kasus pembunuhan dan penipuan Dimas Kanjeng, Mabes Polri sudah merencanakan pemanggilan secara berurutan kepada tiga orang pengikut Padepokan Dimas Kanjeng (sebagai saksi), guna menyelidiki laporan penipuan penggandaan uang.
Berturut-turut yakni Ainul Yaqin yang dipanggil pada 12 April, Abdul Gani pada 13 April, dan Mishal Budianto alias Sahal pada 14 April. 

Orang bernama Ainul Yaqin, kata Satrio, tak diketahui keberadaannya hingga sekarang. Satrio hanya mengenal Ainul Yaqin sebagai penasihat padepokan, tapi sudah tidak aktif sejak tahun 2012. Sedangkan Mishal Budianto sudah ditangkap polisi, kini berstatus tersangka atas tuduhan pembunuhan Ismail Hidayah. Mishal Budianto pernah menjabat sebagai Ketua Padepokan Dimas Kanjeng.
Para sultan ini jengah dengan praktik Dimas Kanjeng. Mereka memutuskan menjadi whistleblower. Namun risikonya terlalu mahal.
Satrio mengatakan, Abdul Gani, Ismail Hidayah, dan Ainul Yaqin sangat berperan dalam pengembangan Padepokan Dimas Kanjeng.

Tiga serangkai itu termasuk jajaran "sultan" yang mengkilat prestasinya dalam merekrut pengikut Dimas Kanjeng. Adapun gelar "sultan", diberikan Dimas Kanjeng kepada orang-orang kepercayaannya.
Dalam kasus pembunuhan ini, polisi sudah menetapkan sembilan tersangka, di luar Dimas Kanjeng dan Mishal Budianto.

Selain mereka berdua, tersebutlah nama Wahyu Wijaya (50), warga Surabaya; Wahyudi (60), warga Salatiga; Ahmad Suryono (54), warga Jombang; dan Kurniadi (50), warga Lombok. Juga ada Boiran, Rahmad Dewaji, Muryad, Erik Yuliga, dan Anis Purwanto. Mereka semuanya adalah anggota Padepokan Dimas Kanjeng. Beberapa di antaranya juga desertir militer, dan anggota TNI aktif.

Pun sejumlah tersangka tak hanya terlibat satu kasus, melainkan dua perkara pembunuhan sekaligus. Pengacara yang ditunjuk menjadi penasihat hukum para tersangka, M. Sholeh, mengecam proses penangkapan oleh polisi. Kata dia, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan polisi terhadap para tersangka. Pelanggaran itu, misalnya terjadi saat penangkapan Mishal Budianto, tersangka pembunuh Ismail Hidayah. Konon, polisi meringkus Mishal Budianto tanpa disertai surat penangkapan. Proses penangkapan juga dilakukan dengan cara kekerasan. 

Kekerasan juga berlanjut hingga proses penyidikan. Pun ketika dilakukan pemeriksaan, para tersangka tidak didampingi penasihat hukum. Padahal sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) pasal 56, setiap tersangka yang diancam hukuman seumur hidup dan hukuman mati, harus didampingi penasihat hukum dalam setiap pemeriksaan.
"Kami sebenarnya sudah mengajukan pra-peradilan, untuk pelanggaran-pelanggaran itu. Namun kalah di Pengadilan Negeri Probolinggo. Siapalah mereka. Mereka bukan Budi Gunawan," keluh Sholeh.

AM Junaidi saat melaporkan di Polres Probolinggo, Sabtu (1/10).

''Lebih malu ketipu Dimas Kanjeng dibanding kalah pilkada''


AM Junaidi saat melaporkan di Polres Probolinggo, Sabtu (1/10).
Mohammad Abdul Junaidi (59), pria asal Situbondo, salah satu korban kasus dugaan penipuan Dimas Kanjeng.
Junaidi pernah mencalonkan diri sebagai bupati Situbondo dari jalur independen pada 2010. Dia berbincang dengan Beritagar.id, usai melaporkan kasus penipuan Dimas Kanjeng ini di Polres Probolinggo, pada Sabtu (1/10).
Sejak kapan mulai bergabung dengan Dimas Kanjeng? Bagaimana mengenalnya?
Saya bergabung dengan Dimas Kanjeng sekitar tahun 2011.
Bagaimana Anda berkenalan dengan Dimas Kanjeng?
Saya mengenal Dimas Kanjeng dari Ismail Hidayah. Ismail adalah teman akrab saya, mulai bujang sampai dengan meninggal. Dia akrab dengan saya sejak semasa sekolah hingga kuliah di STKIP PGRI Situbondo.

Almarhum Ismail menunjukkan kepada saya video Dimas Kanjeng yang bisa menggandakan uang. Saya seperti terhipnotis setelah melihat video tersebut. Saat itu panggilannya belum Dimas Kanjeng, tapi hanya Mas Kanjeng Taat Pribadi.
Setelah itu Anda menjadi santri...
Saya bergabung menjadi santri dengan menyetorkan uang dua juta. Dijanjikan, dalam dua tahun akan dikembalikan menjadi Rp2 miliar. Saya diantarkan ke padepokan oleh almarhum Ismail, sekitar 2011.
Sejak saat itu, saya menjadi rajin menyetorkan uang. Karena semua kegiatan di padepokan ada maharnya. Saya disuruh membeli barang-barang yang dikeluarkan padepokan. Total uang yang saya setorkan sekitar Rp205 juta.
Kenapa tertarik menjadi pengikut Dimas Kanjeng?
Selain merasa terhipnotis melihat tayangan video Dimas Kanjeng. Saat itu, saya juga berpikir jika benar bisa menggandakan uang, lumayan bisa digunakan untuk maju kembali dalam Pilkada Situbondo 2015.
Saat itu, saya baru saja kalah dalam Pilkada Situbondo 2010 dari jalur independen. Tapi rasanya lebih malu tertipu Dimas Kanjeng Rp205 juta dibandingkan kalah pilkada yang habiskan Rp2 Miliar.
Kapan Anda curiga jika Dimas Kanjeng melakukan penipuan?
Saya sadar kalau itu penipuan sekitar empat bulan sebelum almarhum Ismail Hidayah mati. Sebelumnya, saya mendesak kepada almarhum untuk mengembalikan uang saya sebesar Rp205 juta. Tapi hanya disuruh sabar dan menjalankan amalan bacaan, yang menurut saya menyimpang.
Karena mendesak terus, almarhum takut kepada saya. Almarhum akhirnya mendesak padepokan untuk mengembalikan uang. Bukan uang saya saja, tapi uang seluruh santri yang dia setorkan kepada Dimas Kanjeng. Jumlahnya sekitar Rp40 Miliar.

Beberapa pernak-pernik yang pernah dikeluarkan Padepokan Dimas Kanjeng, dan ditebus oleh Junaidi. Pun ada sebuah foto Junaidi bersama dengan Dimas Kanjeng.

Beberapa pernak-pernik yang pernah dikeluarkan Padepokan Dimas Kanjeng, dan ditebus oleh Junaidi. Pun ada sebuah foto Junaidi bersama dengan Dimas Kanjeng.
 
 
Setahu Anda, siapa saja yang mendesak Dimas Kanjeng untuk mengembalikan uang?
Selain saya dan almarhum Ismail, ada juga seorang dosen di Universitas Jember yang mendesak agar uangnya dikembalikan. Kami bertiga ini termasuk santri nakal.
Setelah mempermasalahkan itu, apakah pernah menerima ancaman?
Beberapa kali saya menerima teror melalui pesan singkat. Isinya, "Jangan sekali-kali melaporkan masalah ini ke hukum". Tapi telepon genggam saya hilang sehingga tak ada buktinya. Rumah saya juga pernah dilempar dengan bom bondet (bom ikan). Tapi beruntung ledakannya tidak besar. Saya sebenarnya takut, tapi sekarang saya pasrah kepada Allah.
Selama akrab dengan Ismail, apakah almarhum pernah membocorkan praktik curang Dimas Kanjeng?
Kalau berdasarkan cerita dari Ismail, sebagian uang Dimas Kanjeng memang uang asli. Sisanya adalah uang palsu dan potongan kertas semen untuk mengganjal tumpukan uang.
Uang-uang itu diperoleh dari para santrinya. Paling banyak uang dari Situbondo, sebelum kemudian dari Sulawesi yang terbanyak. Uang-uang itu dikumpulkan para koordinatornya.
Sebenarnya ada tiga tempat penyimpanan yang belum ditemukan polisi yaitu di sekitar Kraksaan, dan seputar Kota Probolinggo. Saya bisa menunjukkan. Uang ini ditaruh di dalam rumah. Ada yang masih mengontrak, ada yang sudah dibeli. Pengirimannya menggunakan mobil dan dilakukan pada malam hari. Mobil masuk garasi, pintu pagar ditutup, kemudian uang diangkut.
Saya tahu tempat penyimpanan uang itu, karena saya bersama Ismail yang mencarikan tempat. Saya juga membuat kotak-kotak yang dianggap kotak gaib itu, yang bisa berisi uang.
Apakah Ismail juga pernah bercerita soal kebohongan lain?
Ismail pernah mengaku bahwa dia mengirimkan uang sebanyak dua koper kepada Marwah Daud Ibrahim di rumahnya. Nilainya bisa mencapai miliaran. Saat itu, kata Ismail dia menaruh dua koper besar uang saat Marwah sedang tidur.
Setelah selesai meletakan dua koper berisi uang, Dimas Kanjeng kemudian menelepon Marwah, bahwa ada kiriman uang gaib di rumahnya. Jadi seolah-olah uang itu datang sendiri.
*) Marwah melalui pesan singkat membantah pernyataan Junaidi ini. Dalam pesan singkatnya Marwah menyatakan, "Saya kira tak pernah."
Bagaimana Anda melihat sikap ngotot Marwah yang membela Dimas Kanjeng?
Dibandingkan Bu Marwah, saya lebih dulu masuk padepokan. Hanya kebetulan dia yang investasi paling banyak. Marwah mungkin sempat menginvestasikan uangnya sebesar Rp200 Miliar.
Kengototan Marwah itu, saya lihat tujuannya bukan uangnya kembali. Tapi memang mereka sedang terhipnotis. Semua santri itu otaknya dicuci. Dimandikan air laut. Dimandikan air dari tujuh sumber.

Rumah Dimas Kanjeng. Menjadi rumah induk di area Padepokan Dimas Kanjeng. Rumah ini awalnya milik keluarga isri Dimas Kanjeng, Rahmawati.

''Saya masih percaya Dimas Kanjeng, sampai diajak ke Bareskrim''


Rumah Dimas Kanjeng. Menjadi rumah induk di area Padepokan Dimas Kanjeng. Rumah ini awalnya milik keluarga isri Dimas Kanjeng, Rahmawati. 
Satrio adalah salah satu saksi kunci dalam pembunuhan Abdul Gani. Teman dekat Abdul Gani ini, bahkan ikut menemani mendiang saat membuat laporan--soal penipuan penggandaan uang Dimas Kanjeng--di Bareskrim Mabes Polri, medio Februari 2016.

Laporan itu sudah mulai diproses, beberapa kali pula Abdul Gani dan Satrio terbang ke Jakarta demi memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri. Kata Satrio, Abdul Gani mestinya akan kembali memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri, pada 13 April. Namun, Abdul Gani justru tewas dibunuh pada 12 April.

Sebagai saksi kunci, Satrio kini berada dalam lindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wawancara ini dilakukan saat Satrio dikunjungi Komisi III DPR RI, Sabtu (1/10).
Bagaimana awalnya bisa ikut melaporkan kasus penipuan Dimas Kanjeng ke Mabes Polri?
Awalnya saya tak mengetahui. Saya cuma diajak Abdul Gani. Kami berdua sangat dekat. Saat itu dia mengajak saya ke Jakarta. Namun dia tidak bilang kalau akan melaporkan praktik penipuan Dimas Kanjeng. Dia cuma bilang, ayo temani saya ke Jakarta. 

Akhirnya kami berdua ke Jakarta menggunakan kereta. Ternyata sampai di Jakarta, selain Abdul Gani ada juga Ainul Yaqin. (Ada juga) profesor, dan ketua LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Apa yang mereka lakukan di Bareskrim?
Saya baru tahu kalau mereka melaporkan dugaan penipuan Dimas Kanjeng saat di Bareskrim itu.
Sebelum di Bareskrim itu, saya sangat percaya dengan Dimas Kanjeng yang memiliki kesaktian. Yang melaporkan dugaan penipuan itu professor, dan ketua LSM. Abdul Gani dan Ainul Yaqin, mungkin hanya menjadi saksi saja.
Apakah Abdul Gani atau Anda mendapat tekanan? Ketakutan karena melaporkan kasus ini?
Abdul Gani berani ikut ke Bareskrim. Mungkin dia juga takut, karena Ismail Hidayah sudah menghilang. Tapi dia tak pernah ngomong ke saya. Saya tahunya baru setelah di Bareskrim itu.

Setelah laporan pada 9 Februari lalu, kira-kira setiap dua minggu sekali, saya dan Abdul Gani ke Jakarta untuk dimintai keterangan. Tapi tidak naik kereta api lagi. Karena capek. Biasanya kita naik pesawat.
Sebelum dibunuh, Abdul Gani seharusnya kembali lagi ke Jakarta pada 13 April. Namun ternyata Abdul Gani sudah dibunuh.

Siapa sebenarnya Abdul Gani?
Abdul Gani yang saya kenal seorang pengusaha emas, permata, dan batu mulia. Sebelum bergabung dengan Dimas Kanjeng, Abdul Gani bekerja sebagai wartawan dan juga anggota LSM. Abdul Gani sebenarnya orang yang sangat dekat dengan Dimas Kanjeng. Bahkan dialah yang mencarikan istri pertama, kedua, sampai ketiga.
Apakah Anda pernah mengenal Dimas Kanjeng sebelumnya?
Dimas Kanjeng sebenarnya juga pernah menjadi wartawan. Dia juga pernah menjadi Ketua LSM Pijar Keadilan. Kebetulan saya juga anggota LSM itu.
Kenapa Anda keluar mundur sebagai pengikut Dimas Kanjeng?
Saya tidak pernah menyatakan diri keluar dari pengikut Dimas Kanjeng. Tapi karena kejadian ini, saya tidak mau mengakui Dimas Kanjeng sebagai guru saya. Faktanya, Dimas Kanjeng sudah membunuh teman yang saya anggap saudara. 

Kenapa tak percaya lagi dengan Dimas Kanjeng? Apakah ada kegiatan yang menyimpang?
Kegiatan sebenarnya tidak ada yang khusus. Kegiatannya hanya istighosah dan khatam Al-Quran. Tak ada bedanya dengan yang lain. Khatam Al-Quran itu, intinya agar membuat para santri tenang, dan mendoakan Dimas Kanjeng.

Polisi menunjukkan barang bukti berupa mata uang asing dari tersangka penipu Dimas Kanjeng Taat Pribadi ketika ungkap kasus di Mapolda Jawa Timur, Jumat (7/10). Barang bukti tersebut disita penyidik dari salah satu korbannya bernama Najmiah Muin, warga asal Makassar, Sulawesi Selatan berupa 260 batang emas, mata uang asing dari Vietnam, Tiongkok, dan Korea Selatan yang jumlahnya sekitar Rp200 milyar, keris, patung dan sejumlah barang lainnya yang diduga palsu.

Polisi menunjukkan barang bukti berupa mata uang asing dari tersangka penipu Dimas Kanjeng Taat Pribadi ketika ungkap kasus di Mapolda Jawa Timur, Jumat (7/10). Barang bukti tersebut disita penyidik dari salah satu korbannya bernama Najmiah Muin, warga asal Makassar, Sulawesi Selatan berupa 260 batang emas, mata uang asing dari Vietnam, Tiongkok, dan Korea Selatan yang jumlahnya sekitar Rp200 milyar, keris, patung dan sejumlah barang lainnya yang diduga palsu. 
Apakah Anda juga pernah melihat Dimas Kanjeng menggandakan uang?
Pernah. Bahkan sering sekali. Kalau menggandakan saya kira tidak tepat, karena menurut saya dia cuma memindahkan uang dari satu tempat ke tempat lain.
Uang yang itu berada di tempat yang Dimas Kanjeng sebut "sentral". Dimas Kanjeng kemudian memproses uang itu, kemudian murid-muridnya disuruh menata. Setelah itu ditaruh lagi di "sentral". Sampai bertahun-tahun tak akan habis uangnya. Proses ini menggunakan media ilmu.
Apakah Anda juga pernah membayar mahar?
Ya, saya pernah bayar mahar. Karena setiap kegiatan pasti ada mahar. Itu kan ada koordinatornya. Masing-masing koordinator ini mungkin diberi target, misalnya Rp5 miliar, maka para santri diminta menyumbang mahar.
Kira-kira berapa total uang sudah Anda habiskan untuk membeli mahar? Sejak tahun berapa?
Saya tidak ingat persis berapa uang yang sudah saya setorkan ke padepokan. Karena seringkali juga, Abdul Gani melarang saya untuk setor uang mahar. Lalu saya bilang, kalau saya tidak setor mahar nanti tak bisa masuk ke padepokan. Saya mulai bergabung di padepokan sekitar 2006.
Berapa uang yang dijanjikan Dimas Kanjeng jika Anda setor mahar?
Saya dijanjikan per Rp1 juta yang disetorkan, dijanjikan bakal mendapatkan uang Rp5 miliar. Kapan waktu pencairannya, kalau prosesnya sudah sukses. Tapi kapan prosesnya akan sukses, tak ditentukan. Pokoknya setelah proses selesai, dijanjikan Rp5 Miliar.
Sudah pernah mendapatkan uang dari Dimas Kanjeng?
Saya tak pernah mendapatkan uang. Buktinya saya sekarang tetap kere(Rabi)