Salam X- Kars
Rekam Jejak Dimas Kanjeng Taat Pribadi
Tersangka Dimas Kanjeng Taat Pribadi digiring petugas usai melakukan
rekontruksi pembunuhan Abdul Gani di padepokannya Desa Wangkal, Gading,
Probolinggo, Jawa Timur, Senin (3/10).
Siapa sebenarnya Dimas Kanjeng? Mengapa banyak
orang percaya padanya? Bagaimana caranya menarik pengikut? Kisah ini datang dari Dusun Sumber Cangkelek,
Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Di
sana, berdirilah Padepokan Dimas Kanjeng.Nama padepokan itu,
merujuk pada tokoh utama sekaligus pemimpinnya, Dimas Kanjeng Taat
Pribadi (46), yang konon punya kesaktian menggandakan uang--para
pengikutnya lebih suka menyebut "mengadakan uang". Kesaktian itulah yang
mengundang banyak orang untuk bergabung.
Dimas Kanjeng berjanji
akan menggandakan uang untuk para anggota padepokan (disebut santri).
Sekadar ilustrasi, misal seorang santri setor Rp5 juta, bisa berlipat
menjadi Rp50 juta, dalam waktu lima tahun. Janji macam itu bikin
ribuan orang kepincut jadi anggota Padepokan Dimas Kanjeng. Orang dengan
masalah finansial sampai pengusaha kaya pun terpikat. Berlomba jadi
santri, berharap fulus tergandakan. Belakangan, Dimas Kanjeng
terbelit masalah hukum.
Dia ditahan Kepolisian Daerah Jawa Timur atas
dugaan pembunuhan, Abdul Gani dan Ismail Hidayah. Kedua korban adalah
bekas santri padepokan, yang konon berniat membuka kedok Dimas Kanjeng. Penangkapan
Dimas Kanjeng pun terbilang tak biasa. Sekitar seribu personel gabungan
Polda Jatim dan Polres Probolinggo diturunkan demi meringkus pria
setengah tambun itu. Pasca-penangkapan, satu per satu mantan
santri dan korban ikut melaporkan Dimas Kanjeng ke Polda Jatim atas
kasus penipuan penggandaan uang.
Ada yang mengaku menyerahkan
ratusan juta kepada Dimas Kanjeng. Bahkan, seorang pria asal Makassar,
Sulawesi Selatan, Nur Najmul Muin, melaporkan bahwa almarhumah ibunya
ditipu sekitar Rp200 miliar. Lantas, siapa sebenarnya Dimas
Kanjeng? Mengapa banyak orang percaya padanya? Bagaimana caranya menarik
pengikut? Kenapa dia terbelit kasus pembunuhan? ini berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan di muka.
Jalan menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Gading,
Probolinggo, Jawa Timur mulus beraspal. Lebarnya sekitar empat sampai
lima meter, bisa dilewati dua mobil berpapasan. Dulunya, jalan
yang menghubungkan Desa Gading Wetan dan Wangkal ini hanyalah jalur
tanah nan sempit. Bila diguyur hujan, jalan itu pasti becek dan
berlumpur. Motor pun susah melintas.
Semua berubah, sejak Dimas
Kanjeng Taat Pribadi kondang. Jalan itu diperbaiki olehnya. Dia membeli
tanah sawah milik warga yang ada di sekitar padepokannya, dan
menghibahkan beberapa meter untuk pelebaran jalan.
"Pemilik tanah
sawah ini senang sekali, karena Dimas Kanjeng membeli tiga kali lipat
dari harga pasar," kata Supriyono, Kepala Desa Gading Wetan.
Meski
begitu, pelebaran jalan hanya mengakomodasi tamu-tamu Dimas Kanjeng.
Warga sekitar atau orang lain terhalang portal. Penjaganya pria
berpotongan cepak bak tentara. Hanya kendaraan tamu atau santri Dimas
Kanjeng yang bisa lepas dari portal. Orang lain silakan memutar.
Namun
warga tak terlalu peduli batasan itu. Pasalnya, warga Desa Wangkal dan
Gading Wetan juga ikut menikmati keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng.
Mereka
mengais rezeki dari menyewakan kamar kos untuk para santri Padepokan
Dimas Kanjeng. Kamar disewakan dengan harga 250-500 ribu rupiah (per
kepala, per bulan). Selain itu, warga juga mengais rezeki dari usaha
ojek dan kuliner. "Sebelum Dimas Kanjeng ditangkap, warga bisa dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu dalam sehari dari ngojek, sangat gampang," kata Supriyono.
Gairah
ekonomi itu muncul seiring kesohornya kesaktian Dimas Kanjeng, yang
konon bisa menggandakan uang. Sehari-hari, ribuan orang bisa hadir di
padepokannya.
Informan seorang jurnalis di
Probolinggo, punya cerita soal Dimas Kanjeng. Dalam ingatannya, Dimas
Kanjeng mulai "berpromosi" ihwal kemampuan menggandakan uang sekitar
tahun 2006. Dia ingat momen kala diajak teman sesama jurnalis untuk
menghadiri acara Dimas Kanjeng. Acaranya bisa ditebak, Dimas Kanjeng
unjuk kesaktian.
Setelah acara itu, tiap kali Dimas Kanjeng punya
hajatan, jurnalis lokal di Probolinggo mesti diundang. Paling sering,
berupa acara bagi-bagi santunan kepada warga fakir dan anak yatim. Para
jurnalis yang meliput juga kecipratan santunan. Kalau mau, boleh
diterima. Bila enggan, bisa ditolak.
Hubungan manis Dimas Kanjeng
dengan jurnalis mulai renggang sekitar tahun 2010. Saat itu, Dimas
Kanjeng mulai beken. Jurnalis kian sulit mendekat. Banyak sosok mirip
tentara berada di sekitarnya. Meski demikian, informan menyebut
Dimas Kanjeng adalah orang yang sopan, dengan nada bicara nan halus,
pun bukan tipe orator. "Dimas Kanjeng orang yang tak bisa berbicara
sampai berbusa-busa," kata dia. Perihal kesopanan itu diamini oleh
Sholahudin (46), teman kecil Dimas Kanjeng di Desa Wangkal--yang
rumahnya berjarak sekitar 30 meter dari rumah orang tua Dimas Kanjeng.
Sholahudin
menyebut Dimas Kanjeng dilahirkan dari keluarga yang mapan untuk level
desa. Dia anak keempat dari enam bersaudara. Dua laki-laki dan empat
perempuan.
Bapaknya bernama Mustain, bekerja sebagai polisi. Warga biasa menyapa Mustain dengan sebutan "Pak Kumendan" (komandan).
Mustain memang pernah menjadi Kepala Polsek Gading--kecamatan tempat
Dimas Kanjeng menetap. Meski anak polisi, kata Sholahudin, Dimas Kanjeng
tak suka bikin onar.
Selepas SMA, Dimas Kanjeng sempat kuliah di salah satu universitas swasta di Malang. Namun kuliahnya putus di tengah jalan.Pada
usia 24, Dimas Kanjeng menikah dengan Rahma Hidayati. Jodohnya itu
bukan orang jauh, melainkan tetangga sekampungnya. Setelah menikah,
Dimas Kanjeng tinggal di rumah keluarga Rahma. Kelak, rumah itu jadi
bangunan induk dalam area Padepokan Dimas Kanjeng.
Sebelum beken dengan kesaktiannya, warga desa mengenal Dimas Kanjeng sebagai pengikut dari Yayasan Amalillah.
Yayasan
pimpinan Raden Aiyon Suharis Restuningrat itu juga menjanjikan
keuntungan finansial. Dengan membayar iuran minimal Rp20 ribu, yayasan
berjanji memberikan Rp55 triliun untuk modal kerja bagi para
makmum--sebutan untuk anggota.
Abu Hasan (51) atau kerap disapa
Pak Ir, adalah salah satu tetangga Dimas Kanjeng yang ikut jadi korban
yayasan itu. Sekitar tahun 2000-an, Pak Ir mengikuti ajakan Dimas
Kanjeng untuk bergabung dengan Yayasan Amalillah. Ia menyetor sejumlah
uang dan fotokopi KTP. "Tapi saya cuma setor Rp20 ribu. Saya beruntung karena tidak rugi banyak," kata Pak Ir. Dalam kasus itu, Dimas Kanjeng tak sampai berhadapan masalah hukum, tapi dia sukses memikat sejumlah warga Desa Wangkal.
Adapun
bagi warga Desa Wangkal, kasus Yayasan Amalillah setidaknya menjadi
sinyal. Mereka jadi mafhum rekam jejak Dimas Kanjeng. Walhasil, ketika "anak Pak Kumendan" itu mengklaim punya kesakstian mendatangkan uang, warga tak mudah percaya.
Namun, ada pula orang yang terkesima dengan klaim Dimas Kanjeng. Kebanyakan dari mereka justru bukan warga sekitar.Semisal,
Marwah Daud Ibrahim (59), yang menjabat Ketua Yayasan Padepokan Dimas
Kanjeng. Perempuan berjilbab itu bukan orang sembarangan. Dia tokoh
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan pemegang gelar doktor
dari The American University, Washington DC, AS. Marwah mengaku,
pertama kali mendengar kabar kemampuan Dimas Kanjeng antara tahun
2011-2012. Kala itu, seorang kawannya menunjukkan video aksi Dimas
Kanjeng mengandakan uang. "Saya, saat itu bilang, ah apaan sih ini," kata Marwah, kepada wartawan di Padepokan Dimas Kanjeng.
Meski
sempat meragukan, rasa keingintahuan menuntun Marwah untuk mencari
bukti. Medio 2012, Marwah bertandang ke Padepokan Dimas Kanjeng. Saking
inginnya bertemu Dimas Kanjeng, Marwah rela menginap selama seminggu.
Namun mereka belum ditakdirkan untuk bertemu. "Beliau sangat sibuk sekali. Meski sudah menginap seminggu, tetap belum bisa menemui beliau," ujar dia.
Marwah
mengklaim butuh setahun guna menelaah kemampuan Dimas Kanjeng
mengadakan uang. Pengikut Dimas Kanjeng memang tidak menggunakan istilah
"menggandakan uang". Kata Marwah, "menggandakan" itu berarti membuat
uang dari satu menjadi dua lembar, dan seterusnya. Hal itu seperti lebih
mirip pemalsuan uang. Sedangkan "mengadakan" artinya membuat uang dari
yang awalnya tiada menjadi ada.
Selama setahun Marwah berusaha
menelaah kesaktian Dimas Kanjeng. Dia pun mencari jawaban lewat metode
istikharah ala ICMI, yaitu dengan pendekatan iman dan teknologi. Dari
sisi iman, Marwah mengklaim mendapat jawaban dari Al-Quran, saat
membaca kisah Nabi Sulaiman, yang bisa memindahkan istana dengan bantuan
orang nan dimuliakan Tuhan. Ia menyamakan kisah itu dengan kemampuan
Dimas Kanjeng. "Dari kisah Nabi Sulaiman ini saya berpikir, kalau Tuhan
menghendaki, semuanya bisa terjadi," tutur dia.Dari sisi ilmu dan teknologi, Marwah sebenarnya tak menemukan jawaban yang pas.
"Saya
mencoba menjelaskan itu dengan metafisika. Tapi enggak masuk-masuk.
Kemampuan Dimas Kanjeng ini, teorinya di atas itu. Pindah dimensi dari
yang nampak, menjadi tak nampak, atau transdimensi," kata dia.
"Saya sebenarnya juga ingin tahu darimana asal duitnya.
Tapi
kemudian saya berpikir, kamu kan tak perlu tahu sistem bekerja untuk
membuat pesawat terbang. Toh kamu yakin terbukti.”
Marwah Daud Ibrahim
Walau tak menemukan jawaban pas, Marwah berkukuh meyakini kemampuan
Dimas Kanjeng. Marwah menganalogikan keyakinan itu dengan proses
penemuan-penemuan besar, semisal pesawat terbang.
"Kalau kita ngomong ada
besi yang bisa terbang di zaman batu, tentu semua orang akan
menertawakan. Tapi saya yakin saja. Saya sebenarnya juga ingin tahu dari
mana asal duitnya. Tapi kemudian saya berpikir, kamu kan tak perlu tahu
sistem bekerja untuk membuat pesawat terbang. Toh kamu yakin terbukti,"
katanya.
Pergulatan batin juga dialami Imam Muslih (43). Pria
yang kerap disapa dengan gelar "ustaz" itu mengaku sebagai jamaah
tabligh. Mulanya, Muslih menyimak video aksi Dimas Kanjeng dari salah
seorang teman, yang mengajaknya bergabung dengan padepokan.
"Saya
ini anggota jamaah tabligh. Saya paling benci dengan orang yang
menyimpang. Tugas saya untuk memperingatkan mereka," kata pria yang
kesehariannya menggunakan baju gamis dan celana gombroh di atas mata
kaki itu. Meski geram, Muslih tak langsung menolak. Kepada
temannya, Muslih meminta waktu untuk memberi jawaban. "Malam harinya,
saya salat istikharah. Setelah salat, sambil setengah mata mengantuk,
tiba-tiba di depan saya muncul sosok Dimas Kanjeng," kata dia.
Keesokan
harinya, formulir pendaftaran anggota padepokan Dimas Kanjeng seharga
Rp1.250.000 ditebusnya. Muslih bergabung di padepokan itu sejak awal
2013 hingga kini.
Muslih juga menebus berbagai pernak-pernik
Dimas Kanjeng, seperti kantung emas seharga Rp10 juta, ATM Dapur, dan
berbagai barang lain. Konon, pernak-pernik itu menjadi jalan
masuk untuk pencairan uang dan emas. Dimas Kanjeng menjanjikan, pada
saatnya kantong emas akan berisi ratusan gram perhiasan, dan emas
batangan. Sedangkan ATM Dapur dijanjikan berisi lima juta setiap
bulannya.
Muslih juga mengatakan tak pernah Dimas Kanjeng mengaku
sebagai kiai, habib, atau ustaz. Bahkan saat salat jamaah di masjid,
Dimas Kanjeng tak pernah menjadi imam.
Dimas Kanjeng juga tak pernah memimpin istighosah, pengajian, atau kegiatan keagamaan lain. Pengajian dan istighosah yang dilakukan di padepokan, sekadar dipimpin jajaran pengikut setianya.
"Jangan
panggil saya kiai, habib atau ustaz. Nanti yang kiai, habib atau ustaz
asli marah. Cukup panggil saya 'Yang Mulia Dimas Kanjeng'. Saya memang
spesialis pengadaan," kata Muslih, meniru ucapan gurunya itu. Gelar
"Yang Mulia" itu, kian sering digunakan Dimas Kanjeng setelah
dinobatkan sebagai Raja Probolinggo oleh Asosiasi Kerajaan dan
Kesultanan Indonesia (AKKI) pada 11 Januari 2011.
Dari penobatan
itu, Dimas Kanjeng punya gelar lengkap Sri Raja Prabu Rajasa Nagara.
Prosesi penobatannya semarak, dengan kehadiran perwakilan 24 kerajaan
dan kesultanan di tanah air.
Ihwal banyaknya pengikut Dimas Kanjeng, Muslih mengaku tak
heran. Sebab, kata dia, para pengikut Dimas Kanjeng sering menyaksikan
peristiwa gaib. Muslih pun berkisah, satu ketika dalam sebuah
pertemuan Dimas Kanjeng bertanya kepada pengikutnya, "Mau makan apa?".
Salah seorang pengikutnya menjawab ingin makan durian, sate, dan soto.
Dimas Kanjeng lantas masuk sebuah ruangan, dan membawakan semua
permintaan itu.
"Memang tak masuk akal. Ruangan itu tak ada jendelanya. Dari mana itu semua? Kami yakin hanya karomah Allah yang membuat itu semua bisa terjadi," kata Muslih. Muslih
juga mengaku punya mimpi pribadi, yang membawanya bergabung ke
Padepokan Dimas Kanjeng. Pria asal Jember, Jawa Timur ini memiliki
pesantren di Lampung Barat dan butuh dana guna mengembangkannya.
Kebetulan, Dimas Kanjeng punya program pengembangan masyarakat dengan
kemampuannya mengadakan duit.
"Programnya Dimas Kanjeng membangun seribu pesantren, seribu rumah sakit, seribu lembaga pendidikan," ujarnya.
Harapan
Muslih mengembangkan pesantren nyaris terwujud. Sinyal itu menguat pada
bulan Syawal lalu (Juni-Juli 2016), ketika Dimas Kanjeng memerintahkan
semua pengikut merapat ke padepokan. Katanya, waktu pencairan uang sudah
dekat.
Sebelumnya, para pengikut memang terpencar di rumah-rumah
penduduk sekitar, atau di rumah masing-masing. Normalnya, mereka datang
berkala ke padepokan untuk beberapa hari. Kali ini pengikut diminta
merapat agar lebih khusyuk berdoa dan istighosah. Tenda-tenda
terpal bertulang bambu pun didirikan di lapangan belakang rumah induk
Padepokan Dimas Kanjeng. Pendirian tenda dilakukan swadaya oleh para
pengikut.
Senin 19 September, Dimas Kanjeng kembali memberi
harapan pada pengikutnya. "Pencairan kian dekat. Seandainya, Allah
mengizinkan, pencairan akan terjadi pada 23 September 2016," bunyi kabar
baik itu.
Namun, pencairan tak kunjung terjadi. Dimas Kanjeng
telanjur dijemput ribuan pasukan Brimob Polda Jatim. Dia dianggap
sebagai dalang pembunuhan, Abdul Gani dan Ismail Hidayah, dua bekas
santri yang konon hendak membongkar kedoknya.
"Pencairan batal, karena polisi menangkap Dimas Kanjeng pada 22 September," kata Muslih.
Meski
pimpinannya sudah ditangkap polisi, Muslih menyatakan akan terus
menetap di padepokan. Dia yakin Dimas Kanjeng tak melakukan pembunuhan
seperti yang dituduhkan. Dia juga tetap percaya Dimas Kanjeng mampu
mengadakan uang.
Selama di padepokan, sebagai sumber nafkahnya,
Muslih mendirikan lapak kecil di belakang masjid, dengan menjual
kebutuhan sehari-hari untuk para santri. Belakangan, lapaknya sepi,
sebab banyak pengikut memutuskan pulang, setelah Dimas Kanjeng
ditangkap.
Sekitar seribu personel gabungan Polda Jawa Timur dan Polres
Probolinggo bersiap di lapangan Desa Wangkal pada Kamis (22/9/2016).
Tengah malam baru lepas, sekitar pukul 1.00 dinihari, mereka bersiap
untuk menuju Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading,
Kabupaten Probolinggo. Memang sebuah pemandangan tak biasa,
mengingat rencana mereka sekadar menciduk satu orang belaka, Dimas
Kanjeng Taat Pribadi. Namun pengerahan ribuan personel bersenjata
lengkap--dilengkapi kendaraan taktis macam mobil Barracuda--dianggap
perlu.
Pasalnya, di dalam padepokan diperkirakan ada sekitar tiga
ribu pengikut Dimas Kanjeng. Selain itu, kabarnya, Dimas Kanjeng juga
senantiasa dikelilingi orang-orang yang berpostur mirip tentara.
Kewaspadaan diperlukan, menimbang kemungkinan perlawanan.
Usaha
untuk masuk area padepokan memang sempat terhalang oleh portal yang
dibangun pengikut Dimas Kanjeng. Sejumlah batu juga ikut melayang dari
gerbang masuk Padepokan Dimas Kanjeng. Demi membubarkan massa, aparat
membalas dengan menembakkan gas air mata. Perlawanan kecil itu pun tak
berlangsung lama. Begitu berhasil masuk, polisi langsung berpencar
ke seluruh area padepokan. Ada yang masuk ke rumah induk tempat tinggal
Dimas Kanjeng dengan mendobrak pintu. Ada pula yang menggelar
penyisiran di segala penjuru padepokan.
Dimas Kanjeng ditangkap
bukan di rumahnya. Aparat memergoki pria yang konon punya kesaktian itu
dalam salah satu ruangan yang ada di fitness center milik padepokan. Saat ditangkap, Dimas Kanjeng hanya mengenakan celana pendek, dan kaus berwarna ungu.
Kala
petugas bertanya soal identitasnya, Dimas Kanjeng juga sempat berkelit.
Dia sekadar mengaku sebagai "pembantu Dimas Kanjeng". Beruntung, ada
seorang petugas buru sergap Polres Probolinggo yang sudah mengenali
wajahnya. "Ya. Itu Dimas Kanjeng. Tangkap. Sini kamu," kata petugas itu. Dimas Kanjeng kemudian dimasukkan ke Barracuda milik Brimob
untuk dibawa ke Mapolda Polda Jawa Timur di Surabaya. Dalam Barracuda
itu, ikut hadir Wakil Kepala Polda Jatim, Brigjen Gatot Subroto, yang
memimpin langsung operasi penangkapan.
Dalam perjalanan ke
Surabaya, Gatot juga sempat menantang Dimas Kanjeng. "Kalau memang bisa
menggandakan uang, tolong mobil ini dipenuhi dengan uang," kata Gatot.
Namun Dimas berdalih, "Tidak bisa Pak. Jinnya sudah lari. Takut dengan
gas air mata."
“Tidak bisa Pak. Jinnya sudah lari. Takut dengan gas air mata.”
Dimas KanjengSeorang petugas yang terlibat dalam penangkapan mengatakan bahwa
semula operasi hanya akan melibatkan tim kecil. Skenarionya, tim kecil
itu bakal menciduk Dimas Kanjeng saat malam hari. Jalur evakuasi pun
sudah disiapkan.Polisi memang sudah kenal seluk-beluk
Padepokan Dimas Kanjeng. Mereka telah mengintai padepokan dan keberadaan
Dimas Kanjeng selama tiga bulan. Polisi sudah menanam anggotanya yang
menyamar menjadi pengikut Dimas Kanjeng. Namun operasi dengan tim kecil
dibatalkan, demi berjaga atas kemungkinan perlawanan.Keterangan
bahwa polisi sudah menyusupkan orang untuk memantau situasi diamini
seorang anggota Brimob yang ikut operasi penangkapan. Pun ketika
rekonstruksi pembunuhan Abdul Gani digelar pada Senin (3/10), seorang
pria berpakaian lusuh tampak karib dengan polisi lainnya, padahal
wilayah itu sedang ditutup untuk warga biasa.
"Tampang dan
dandanannya memang seperti orang gila. Tapi dia salah satu intel Brimob
yang ditanam di sini. Yang saya tahu ada lima orang intel dari Brimob di
sini," kata anggota Brimob itu. Menciduk Dimas Kanjeng memang
bukan perkara gampang. Padepokan cenderung tertutup, dan hanya
orang-orang tertentu yang mengetahui keberadaan Dimas Kanjeng. Polda
Jawa Timur sebenarnya sudah beberapa kali mengirim surat pemanggilan
untuk Dimas Kanjeng. Dia hendak diperiksa atas dugaan pembunuhan. Namun
surat panggilan itu tak diacuhkan.
Soal penangkapan ini, salah
satu anggota tim pengacara Dimas Kanjeng, Andi Faisal mempertanyakan
jumlah pasukan yang dikerahkan. "Masa sih untuk menangkap seorang Dimas
Kanjeng saja sampai harus mengerahkan banyak polisi," ujar dia. Selain
itu, Andi juga menyesalkan proses pengambilan barang bukti yang tidak
melibatkan pengacara. Padahal saat penangkapan, dirinya ada di Padepokan
Dimas kanjeng. Polisi juga dituding mengambil barang bukti tanpa
disaksikan keluarga dekat Dimas Kanjeng. Saat pengambilan barang bukti
itu, polisi hanya melibatkan kepala desa sebagai saksi.
Atas
segala kejanggalan tersebut, Andi mencurigai adanya upaya kriminalisasi
terhadap Dimas Kanjeng. Kata Andi, polisi juga belum bisa membuktikan
tuduhan-tuduhan yang disangkakan kepada kliennya. "Kami yakin kok, kalau
klien kami tidak bersalah," ujarnya.
Dimas Kanjeng diduga menjadi otak pembunuhan terhadap dua
orang pengikutnya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah. Abdul Gani dibunuh
pada 12 April 2016 lalu. Merujuk reka ulang pembunuhan pada Senin
(3/10), Abdul Gani dibunuh di Asrama Putra Padepokan Dimas Kanjeng. Abdul
Gani dibunuh dengan cara dipukul, dijerat, dan dibekap. Setelah
dipastikan tewas, mayatnya dimasukkan dalam kotak plastik, yang lantas
diangkut dengan mobil untuk dibuang ke Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri,
Jawa Tengah.
Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP
Taufik Herdiansyah, mengatakan bahwa para pelaku membunuh Abdul Gani
karena diduga menyelewengkan banyak uang mahar dari pengikut Padepokan
Dimas Kanjeng.Abdul Gani juga dianggap "duri dalam daging"
karena memprovokasi pengikut padepokan agar tidak percaya lagi pada
Dimas Kanjeng, dan mau bersaksi atas laporan penipuan di Mabes Polri.
Seorang
teman dekat Abdul Gani menyebut, rekam jejak korban sebenarnya tidak
bersih-bersih amat. Konon, sebelum bergabung dengan Padepokan Dimas
Kanjeng, Abdul Gani pernah berprofesi sebagai wartawan Media Injak Kaki. Selain menjadi wartawan, Abdul Ghani juga bersibuk sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Namun
sejak bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, kondisi ekonomi Abdul
Gani turut berubah. Dia mengendorkan aktivitas LSM-nya. Di samping
bekerja untuk padepokan, dia juga merintis usaha. Abdul Gani membuka
toko perhiasan yang menjual emas, permata, dan batu mulia di
Probolinggo. Dia bahkan menikah lagi. Istri pertamanya orang Padang, dan
istri keduanya artis penyanyi lokal di Banyuwangi. Adapun mayat
Ismail Hidayah ditemukan di Desa Tegalsono, Kecamatan Tegalsiwalan,
Kabupaten Probolinggo medio Februari 2015. Saat itu, mayat Ismail
Hidayah sempat dijadikan mayat Mr. X, karena polisi kesulitan mengungkap
identitasnya.
Polisi baru berhasil mengungkap identitas Ismail
Hidayah, setelah kasus pembunuhan Abdul Gani terkuak. Polisi menduga,
Dimas Kanjeng khawatir Ismail Hidayah akan membocorkan rahasia
padepokan, sehingga perlu dibungkam. Kepada
seorang yang kenal dengan Ismail Hidayah mengatakan, almarhum sebenarnya
"orang biasa-biasa saja". Menurut sumber, sebelum bergabung dengan
Padepokan Dimas Kanjeng, Ismail bekerja sebagai calo Tenaga Kerja
Indonesia (TKI).
"Sudah banyak orang kena tipu dia. Janjinya akan
diberangkatkan ke Malaysia untuk jadi TKI," ujarnya. Ismail juga sempat
menjadi pedagang keliling menjajakan baju. Dia baru bergabung dengan
Padepokan Dimas Kanjeng pada 2011. Dia aktif bergiat di sana, sampai
ditemukan tewas.
Keterangan juga datang dari Satrio, salah seorang pengikut Padepokan Dimas Kanjeng yang karib dengan Abdul Gani.
Menurut
Satrio, Abdul Gani mestinya memenuhi panggilan Bareskrim Mabes
Polri--sebagai saksi, atas laporan penipuan penggandaan uang--pada 13
April silam. Namun, Abdul Gani justru tewas dibunuh pada 12 April.
Kata
Satrio, yang juga jadi saksi kasus pembunuhan dan penipuan Dimas
Kanjeng, Mabes Polri sudah merencanakan pemanggilan secara berurutan
kepada tiga orang pengikut Padepokan Dimas Kanjeng (sebagai saksi), guna
menyelidiki laporan penipuan penggandaan uang.
Berturut-turut
yakni Ainul Yaqin yang dipanggil pada 12 April, Abdul Gani pada 13
April, dan Mishal Budianto alias Sahal pada 14 April.
Orang
bernama Ainul Yaqin, kata Satrio, tak diketahui keberadaannya hingga
sekarang. Satrio hanya mengenal Ainul Yaqin sebagai penasihat padepokan,
tapi sudah tidak aktif sejak tahun 2012. Sedangkan Mishal
Budianto sudah ditangkap polisi, kini berstatus tersangka atas tuduhan
pembunuhan Ismail Hidayah. Mishal Budianto pernah menjabat sebagai Ketua
Padepokan Dimas Kanjeng.
Para sultan ini jengah dengan praktik Dimas Kanjeng. Mereka memutuskan menjadi whistleblower. Namun risikonya terlalu mahal.
Satrio mengatakan, Abdul Gani, Ismail Hidayah, dan Ainul Yaqin sangat berperan dalam pengembangan Padepokan Dimas Kanjeng.
Tiga
serangkai itu termasuk jajaran "sultan" yang mengkilat prestasinya
dalam merekrut pengikut Dimas Kanjeng. Adapun gelar "sultan", diberikan
Dimas Kanjeng kepada orang-orang kepercayaannya.
Dalam kasus pembunuhan ini, polisi sudah menetapkan sembilan tersangka, di luar Dimas Kanjeng dan Mishal Budianto.
Selain
mereka berdua, tersebutlah nama Wahyu Wijaya (50), warga Surabaya;
Wahyudi (60), warga Salatiga; Ahmad Suryono (54), warga Jombang; dan
Kurniadi (50), warga Lombok. Juga ada Boiran, Rahmad Dewaji, Muryad,
Erik Yuliga, dan Anis Purwanto. Mereka semuanya adalah anggota Padepokan Dimas Kanjeng. Beberapa di antaranya juga desertir militer, dan anggota TNI aktif.
Pun sejumlah tersangka tak hanya terlibat satu kasus, melainkan dua perkara pembunuhan sekaligus. Pengacara
yang ditunjuk menjadi penasihat hukum para tersangka, M. Sholeh,
mengecam proses penangkapan oleh polisi. Kata dia, ada beberapa
pelanggaran yang dilakukan polisi terhadap para tersangka. Pelanggaran
itu, misalnya terjadi saat penangkapan Mishal Budianto, tersangka
pembunuh Ismail Hidayah. Konon, polisi meringkus Mishal Budianto tanpa
disertai surat penangkapan. Proses penangkapan juga dilakukan dengan
cara kekerasan.
Kekerasan juga berlanjut hingga proses
penyidikan. Pun ketika dilakukan pemeriksaan, para tersangka tidak
didampingi penasihat hukum. Padahal sesuai Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHAP) pasal 56, setiap tersangka yang diancam hukuman seumur
hidup dan hukuman mati, harus didampingi penasihat hukum dalam setiap
pemeriksaan.
"Kami sebenarnya sudah mengajukan pra-peradilan,
untuk pelanggaran-pelanggaran itu. Namun kalah di Pengadilan Negeri
Probolinggo. Siapalah mereka. Mereka bukan Budi Gunawan," keluh Sholeh.
Mohammad Abdul Junaidi (59), pria asal Situbondo, salah satu korban kasus dugaan penipuan Dimas Kanjeng.
Junaidi pernah mencalonkan diri sebagai bupati Situbondo dari jalur independen pada 2010. Dia berbincang dengan Beritagar.id, usai melaporkan kasus penipuan Dimas Kanjeng ini di Polres Probolinggo, pada Sabtu (1/10).
Sejak kapan mulai bergabung dengan Dimas Kanjeng? Bagaimana mengenalnya?
Saya bergabung dengan Dimas Kanjeng sekitar tahun 2011.
Bagaimana Anda berkenalan dengan Dimas Kanjeng?
Saya
mengenal Dimas Kanjeng dari Ismail Hidayah. Ismail adalah teman akrab
saya, mulai bujang sampai dengan meninggal. Dia akrab dengan saya sejak
semasa sekolah hingga kuliah di STKIP PGRI Situbondo.
Almarhum
Ismail menunjukkan kepada saya video Dimas Kanjeng yang bisa
menggandakan uang. Saya seperti terhipnotis setelah melihat video
tersebut. Saat itu panggilannya belum Dimas Kanjeng, tapi hanya Mas
Kanjeng Taat Pribadi.
Setelah itu Anda menjadi santri...
Saya
bergabung menjadi santri dengan menyetorkan uang dua juta. Dijanjikan,
dalam dua tahun akan dikembalikan menjadi Rp2 miliar. Saya diantarkan ke
padepokan oleh almarhum Ismail, sekitar 2011.
Sejak saat itu,
saya menjadi rajin menyetorkan uang. Karena semua kegiatan di padepokan
ada maharnya. Saya disuruh membeli barang-barang yang dikeluarkan
padepokan. Total uang yang saya setorkan sekitar Rp205 juta.
Kenapa tertarik menjadi pengikut Dimas Kanjeng?
Selain
merasa terhipnotis melihat tayangan video Dimas Kanjeng. Saat itu, saya
juga berpikir jika benar bisa menggandakan uang, lumayan bisa digunakan
untuk maju kembali dalam Pilkada Situbondo 2015.
Saat itu, saya
baru saja kalah dalam Pilkada Situbondo 2010 dari jalur independen. Tapi
rasanya lebih malu tertipu Dimas Kanjeng Rp205 juta dibandingkan kalah
pilkada yang habiskan Rp2 Miliar.
Kapan Anda curiga jika Dimas Kanjeng melakukan penipuan?
Saya
sadar kalau itu penipuan sekitar empat bulan sebelum almarhum Ismail
Hidayah mati. Sebelumnya, saya mendesak kepada almarhum untuk
mengembalikan uang saya sebesar Rp205 juta. Tapi hanya disuruh sabar dan
menjalankan amalan bacaan, yang menurut saya menyimpang.
Karena
mendesak terus, almarhum takut kepada saya. Almarhum akhirnya mendesak
padepokan untuk mengembalikan uang. Bukan uang saya saja, tapi uang
seluruh santri yang dia setorkan kepada Dimas Kanjeng. Jumlahnya sekitar
Rp40 Miliar.
Setahu Anda, siapa saja yang mendesak Dimas Kanjeng untuk mengembalikan uang?
Selain
saya dan almarhum Ismail, ada juga seorang dosen di Universitas Jember
yang mendesak agar uangnya dikembalikan. Kami bertiga ini termasuk
santri nakal.
Setelah mempermasalahkan itu, apakah pernah menerima ancaman?
Beberapa
kali saya menerima teror melalui pesan singkat. Isinya, "Jangan
sekali-kali melaporkan masalah ini ke hukum". Tapi telepon genggam saya
hilang sehingga tak ada buktinya. Rumah saya juga pernah dilempar dengan
bom bondet (bom ikan). Tapi beruntung ledakannya tidak besar. Saya sebenarnya takut, tapi sekarang saya pasrah kepada Allah.
Selama akrab dengan Ismail, apakah almarhum pernah membocorkan praktik curang Dimas Kanjeng?
Kalau
berdasarkan cerita dari Ismail, sebagian uang Dimas Kanjeng memang uang
asli. Sisanya adalah uang palsu dan potongan kertas semen untuk
mengganjal tumpukan uang.
Uang-uang itu diperoleh dari para
santrinya. Paling banyak uang dari Situbondo, sebelum kemudian dari
Sulawesi yang terbanyak. Uang-uang itu dikumpulkan para koordinatornya.
Sebenarnya
ada tiga tempat penyimpanan yang belum ditemukan polisi yaitu di
sekitar Kraksaan, dan seputar Kota Probolinggo. Saya bisa menunjukkan.
Uang ini ditaruh di dalam rumah. Ada yang masih mengontrak, ada yang
sudah dibeli. Pengirimannya menggunakan mobil dan dilakukan pada malam
hari. Mobil masuk garasi, pintu pagar ditutup, kemudian uang diangkut.
Saya
tahu tempat penyimpanan uang itu, karena saya bersama Ismail yang
mencarikan tempat. Saya juga membuat kotak-kotak yang dianggap kotak
gaib itu, yang bisa berisi uang.
Apakah Ismail juga pernah bercerita soal kebohongan lain?
Ismail
pernah mengaku bahwa dia mengirimkan uang sebanyak dua koper kepada
Marwah Daud Ibrahim di rumahnya. Nilainya bisa mencapai miliaran. Saat
itu, kata Ismail dia menaruh dua koper besar uang saat Marwah sedang
tidur.
Setelah selesai meletakan dua koper berisi uang, Dimas
Kanjeng kemudian menelepon Marwah, bahwa ada kiriman uang gaib di
rumahnya. Jadi seolah-olah uang itu datang sendiri.
*)
Marwah melalui pesan singkat membantah pernyataan Junaidi ini. Dalam
pesan singkatnya Marwah menyatakan, "Saya kira tak pernah."
Bagaimana Anda melihat sikap ngotot Marwah yang membela Dimas Kanjeng?
Dibandingkan
Bu Marwah, saya lebih dulu masuk padepokan. Hanya kebetulan dia yang
investasi paling banyak. Marwah mungkin sempat menginvestasikan uangnya
sebesar Rp200 Miliar.
Kengototan Marwah itu, saya lihat
tujuannya bukan uangnya kembali. Tapi memang mereka sedang terhipnotis.
Semua santri itu otaknya dicuci. Dimandikan air laut. Dimandikan air
dari tujuh sumber.
Satrio adalah salah satu saksi kunci dalam pembunuhan Abdul
Gani. Teman dekat Abdul Gani ini, bahkan ikut menemani mendiang saat
membuat laporan--soal penipuan penggandaan uang Dimas Kanjeng--di
Bareskrim Mabes Polri, medio Februari 2016.
Laporan itu sudah
mulai diproses, beberapa kali pula Abdul Gani dan Satrio terbang ke
Jakarta demi memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri. Kata Satrio,
Abdul Gani mestinya akan kembali memenuhi panggilan Bareskrim Mabes
Polri, pada 13 April. Namun, Abdul Gani justru tewas dibunuh pada 12
April.
Sebagai saksi kunci, Satrio kini berada dalam lindungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wawancara ini dilakukan
saat Satrio dikunjungi Komisi III DPR RI, Sabtu (1/10).
Bagaimana awalnya bisa ikut melaporkan kasus penipuan Dimas Kanjeng ke Mabes Polri?
Awalnya
saya tak mengetahui. Saya cuma diajak Abdul Gani. Kami berdua sangat
dekat. Saat itu dia mengajak saya ke Jakarta. Namun dia tidak bilang
kalau akan melaporkan praktik penipuan Dimas Kanjeng. Dia cuma bilang,
ayo temani saya ke Jakarta.
Akhirnya kami berdua ke Jakarta
menggunakan kereta. Ternyata sampai di Jakarta, selain Abdul Gani ada
juga Ainul Yaqin. (Ada juga) profesor, dan ketua LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).
Apa yang mereka lakukan di Bareskrim?
Saya baru tahu kalau mereka melaporkan dugaan penipuan Dimas Kanjeng saat di Bareskrim itu.
Sebelum
di Bareskrim itu, saya sangat percaya dengan Dimas Kanjeng yang
memiliki kesaktian. Yang melaporkan dugaan penipuan itu professor, dan
ketua LSM. Abdul Gani dan Ainul Yaqin, mungkin hanya menjadi saksi saja.
Apakah Abdul Gani atau Anda mendapat tekanan? Ketakutan karena melaporkan kasus ini?
Abdul Gani berani ikut ke Bareskrim. Mungkin dia juga takut, karena Ismail Hidayah sudah menghilang. Tapi dia tak pernah ngomong ke saya. Saya tahunya baru setelah di Bareskrim itu.
Setelah
laporan pada 9 Februari lalu, kira-kira setiap dua minggu sekali, saya
dan Abdul Gani ke Jakarta untuk dimintai keterangan. Tapi tidak naik
kereta api lagi. Karena capek. Biasanya kita naik pesawat.
Sebelum dibunuh, Abdul Gani seharusnya kembali lagi ke Jakarta pada 13 April. Namun ternyata Abdul Gani sudah dibunuh.
Siapa sebenarnya Abdul Gani?
Abdul
Gani yang saya kenal seorang pengusaha emas, permata, dan batu mulia.
Sebelum bergabung dengan Dimas Kanjeng, Abdul Gani bekerja sebagai
wartawan dan juga anggota LSM. Abdul Gani sebenarnya orang yang sangat
dekat dengan Dimas Kanjeng. Bahkan dialah yang mencarikan istri pertama,
kedua, sampai ketiga.
Apakah Anda pernah mengenal Dimas Kanjeng sebelumnya?
Dimas
Kanjeng sebenarnya juga pernah menjadi wartawan. Dia juga pernah
menjadi Ketua LSM Pijar Keadilan. Kebetulan saya juga anggota LSM itu.
Kenapa Anda keluar mundur sebagai pengikut Dimas Kanjeng?
Saya
tidak pernah menyatakan diri keluar dari pengikut Dimas Kanjeng. Tapi
karena kejadian ini, saya tidak mau mengakui Dimas Kanjeng sebagai guru
saya. Faktanya, Dimas Kanjeng sudah membunuh teman yang saya anggap
saudara.
Kenapa tak percaya lagi dengan Dimas Kanjeng? Apakah ada kegiatan yang menyimpang?
Kegiatan sebenarnya tidak ada yang khusus. Kegiatannya hanya istighosah
dan khatam Al-Quran. Tak ada bedanya dengan yang lain. Khatam Al-Quran
itu, intinya agar membuat para santri tenang, dan mendoakan Dimas
Kanjeng.
Apakah Anda juga pernah melihat Dimas Kanjeng menggandakan uang?
Pernah.
Bahkan sering sekali. Kalau menggandakan saya kira tidak tepat, karena
menurut saya dia cuma memindahkan uang dari satu tempat ke tempat lain.
Uang
yang itu berada di tempat yang Dimas Kanjeng sebut "sentral". Dimas
Kanjeng kemudian memproses uang itu, kemudian murid-muridnya disuruh
menata. Setelah itu ditaruh lagi di "sentral". Sampai bertahun-tahun tak
akan habis uangnya. Proses ini menggunakan media ilmu.
Apakah Anda juga pernah membayar mahar?
Ya,
saya pernah bayar mahar. Karena setiap kegiatan pasti ada mahar. Itu
kan ada koordinatornya. Masing-masing koordinator ini mungkin diberi
target, misalnya Rp5 miliar, maka para santri diminta menyumbang mahar.
Kira-kira berapa total uang sudah Anda habiskan untuk membeli mahar? Sejak tahun berapa?
Saya
tidak ingat persis berapa uang yang sudah saya setorkan ke padepokan.
Karena seringkali juga, Abdul Gani melarang saya untuk setor uang mahar.
Lalu saya bilang, kalau saya tidak setor mahar nanti tak bisa masuk ke
padepokan. Saya mulai bergabung di padepokan sekitar 2006.
Berapa uang yang dijanjikan Dimas Kanjeng jika Anda setor mahar?
Saya
dijanjikan per Rp1 juta yang disetorkan, dijanjikan bakal mendapatkan
uang Rp5 miliar. Kapan waktu pencairannya, kalau prosesnya sudah sukses.
Tapi kapan prosesnya akan sukses, tak ditentukan. Pokoknya setelah
proses selesai, dijanjikan Rp5 Miliar.
Sudah pernah mendapatkan uang dari Dimas Kanjeng?
Saya tak pernah mendapatkan uang. Buktinya saya sekarang tetap kere(Rabi)