Salam X- Kars
Sastra - www.radarbesuki.com
Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin
berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong
istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dia
tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat
dan bahagia.Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku seperti mulai menurun.Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat bahagia, namun kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku seperti mulai menurun.Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat bahagia, namun kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane
memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam
cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, “Kau
adalah laki-laki yang pandai memikat wanita.” Kata-katanya tiba-tiba
mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku berkata
“Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak wanita.”
Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah
mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, “Kamu perlu memilih
beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia
terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya
melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin
jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit
untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku
mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah seorang
istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan makan malam.
Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera tersedia. Kemudian
kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya merupakan hiburan bagiku.
Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, “Kalau
misalnya kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?” Dia menatapku
beberapa saat tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang
percaya bahwa perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius
tentang ini.Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar.
Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan
mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara
dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum
dengan lembut kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan
luka di matanya.
Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu
kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa
ragu-ragu lagi.
Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan
malam. Aku menggemgam tangannya dan berkata, “Ada yang ingin aku
bicarakan.” Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat
perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku harus tetap
mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai pembicaraan
dengan tenang.
Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, “Kenapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia
melempar sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!” Malam
itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin mencari
tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit
memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane.
Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, aku membuat perjanjian perceraian yang
menyatakan bahwa istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami dan 30%
aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang
telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang
asing bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan
tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku katakan
karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan
keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku,
tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang
telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang
menjadi tampak tegas dan jelas.
Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis
sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan
tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane.
Ketika aku terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya dan langsung kembali tidur.Paginya, dia menyerahkan syarat perceraiannya: Dia tidak
menginginkan apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan
sebelum perceraian. Dia meminta dalam 1 bulan itu kami berdua harus
berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang
menghadapi ujian dalam sebulan itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak
kami dengan perceraian kami.
Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu
lagi, dia memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku
membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memintanya selama 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya
keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia gila.
Aku menerima permintaannya yang aneh karena hanya ingin membuat
hari-hari terakhir kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.Aku memberi tahu Jane tentang syarat perceraian dari istriku. Dia
tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu berlebihan. “Trik apapun yang
dia gunakan, dia harus tetap menghadapi perceraian!”, kata Jane, dengan
nada menghina.Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak
keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku
menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami
tepuk tangan di belakang kami. Katanya, “Papa menggendong mama!”
Kata-katanya membuat ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu
ke pintu depan, aku berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya
dipelukanku. Dia menutup mata dan berbisik padaku, “Jangan bilang anak
kita mengenai perceraian ini.” Aku mengangguk, merasa sedih. Aku
menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk
bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.
Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar di
dadaku. Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah lama
aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia sudah
tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih.
Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang
telah aku lakukan padanya.
Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa
kedekatan seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah
memberikan 10 tahun kehidupannya padaku.
Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa kedekatan kami semakin
bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu
semakin mudah menggendongnya. Mungkin karena aku rajin berolahraga
membuatku semakin kuat.
Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan.
Dia mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia
menghela nafas, “Pakaianku semua jadi besar.” Tiba-tiba aku tersadar
bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa
menggendongnya dengan mudah.
Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan
kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh
kepalanya.Anak kami datang saat itu dan berkata, “Pa, sudah waktunya
menggendong mama keluar.” Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong
ibunya keluar telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku
melambai pada anakku untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan
wajahku karena takut aku akan berubah pikiran pada saat terakhir.
Kemudian aku menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke
pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku
menggendongnya dengan erat, seperti ketika hari pernikahan kami.
Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari
terakhir, ketika aku menggendongnya, sulit sekali bagiku untuk bergerak.
Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan
berkata, “Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang
kedekatan.”
Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci
pintunya. Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan
keatas, Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, “Maaf, Jane, aku
tidak mau perceraian.”
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam?”,
tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, aku
bilang, aku tidak akan bercerai.” Kehidupan pernikahanku selama ini
membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak menilai segala detail
kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai. Sekarang aku
sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku
harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami.
Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian
membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu
buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku
tulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu
setiap pagi sampai maut memisahkan kita.Sore itu, aku sampai rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di
wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku
terbaring di tempat tidur – meninggal. Istriku telah melawan kanker
selama berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak
memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dan dia ingin
menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami
jadi bercerai. — Setidaknya, di mata anak kami — aku adalah suami yang
penyayang.
Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting
dalam suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di
bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak bisa memberikan
kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi
pasanganmu, dan lakukan hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun
kedekatan itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia.