Radar Besuki
Penamaan Nusantara kerap dikaitkan dengan keberadaan negara Indonesia. Lebih luas lagi, penamaan ini mulai muncul pada abad 13 Masehi untuk menyebut keseluruhan wilayah kerajaan Majapahit. Kala itu, luasannya mencakup hingga ke semenanjung Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan.
Kepopuleran istilah Nusantara pun akhirnya luntur seiring ambruknya kejayaan Majapahit. Persis setelah abad 16 hingga 20 penamaan wilayah ini lenyap dan tak terdengar lagi. Hingga pada suatu ketika, seorang priyayi bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara kembali memasyhurkan kata Nusantara sebagai salah satu alternatif untuk menyebut negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang kala itu belum terwujud.
“Di sekolah ini aku bertemu dengan sahabat-sahabat dari Andalas, Sulawesi, Ambon, Timor, bahwa bukan hanya Pakualaman, tetapi seluruh Nusantara ini sedang menanti datangnya pembebas,” tulis Ki Hajar dalam surat yang ia tujukan kepada R.A Suhartinah pada 2 Mei 1889 sebagaimana dikutip J.B Sudarmanto dalam buku berjudul Politik Bermartabat.
Menulis untuk melawan penindasan
Penyebutan Nusantara terus digunakan Ki Hajar Dewantara di setiap surat yang ia kirimkan ke rekan-rekannya sesama Bumiputera. Cita-cita Ki Hajar untuk melawan penindasan penjajah kolonial Belanda semakin menemui tempat strategis di saat bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
“Ki Hajar itu berjuang tidak mengandalkan otot semata. Tapi juga otak,” kata sejarawan Indonesia Anhar Gonggong kepada Metrotvnews.com di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Senin (8/8/2016) pekan lalu.
Selain aktif menulis dengan gayanya yang cukup komunikatif, Ki Hajar juga aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 1908, Ki Hajar aktif membidangi seksi propaganda. Pada posisi itu ia bertugas menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
“Berdirinya Boedi Oetomo ini kemudian mendorong beberapa anak muda pada saat itu membentuk organisasi lain. Diataranya Indische Partij yang didirikan oleh Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker, dr Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara pada 1911,” kata Anhar.
Aktivitas Ki Hajar dalam dunia tulis menulis sekaligus keterlibatannya di beberapa organisasi pergerakan sudah barang tentu membuat Belanda geram. Hingga satu tulisannya yang berjudul Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat De Express pada perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dijadikan alasan empuk bagi pemerintah kolonial untuk mengasingkan Ki Hajar ke Pulau Bangka pada 1913.
Pasca menyebarnya tulisan pertama orang Jawa berbahasa Belanda itu, pemerintah kolonial pun semakin mengkhususkan pengawasannya kepada Ki Hajar. Namun berkat kecerdasannya, Ki Hajar bahkan masih bisa menggerakkan perjuangan meski dipindahkan pengasingannya ke Den Haag. Sebagaimana dia memasyhurkan kata Nusantara, di sana ia pun menjadi bumiputra pertama yang menggaungkan nama Indonesia.
“Soewardi mendirikan agen yang kelak dikenal dengan Biro Pers Indonesia (Indonesische Persbureau) di Den Haag, untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan berita mengenai gerakan politik di Hindia,” tulis R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia.
Semangat kebangsaan Ki Hajar
Pada September 1919, Ki Hajar dipulangkan ke Indonesia. Tiga tahun kemudian, dengan berbekal pengalaman mengajar di sekolah binaan saudaranya, pada 3 Juli 1922 Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa alias Perguruan Nasional Tamansiswa.
“Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa Tradisional,” tulis M.C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.
Taman Siswa yang diasuh Ki Hajar mengalami kemajuan sangat pesat. Pada 1924, sekolah bumiputra baru ini menerima siswa hingga setingkat menengah pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) milik Belanda. Selain itu, dibuka juga penerimaan siswa untuk sekolah guru.
Perkembangan pesat Taman Siswa karena promosi kebangsaan yang memang ditunggu masyarakat saat itu. Taman Siswa pun sama sekali menolak kucuran subsidi dari pemerintah Belanda. “Pada 1932, organisasi ini telah mempunyai 166 sekolah dan 11.000 murid,” tulis Ricklef masih dalam buku yang sama.
Ki Hajar berpandangan bahwa konsep kebangsaan harus ditempuh melalui jalan persatuan dan pendidikan. Ia begitu antusias setiap mengingat kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1916. Dalam salah satu sidang itu diputuskan bahwa yang laik menjadi pengikat kesatuan adalah bukan agama Islam semata, melainkan kebangsaan Hindia.
“Karena Ki Hajar Dewantara pun khawatir akan kemungkinan timbulnya perpecahan akibar perselisihan paham agama,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan.
Sikap kebangsaan Ki Hajar tetap konsisten hingga ia dipilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanpa sepengetahuan Jepang. Ki Hajar mufakat terhadap setiap gagasan persatuan. Hingga pada akhirnya ia diembani tugas sebagai Menteri Pengajaran pertama karena mengingat pengabdiannya yang total di bidang pendidikan untuk wawasan kebangsaan.
“Hingga pada hal gagasan memperingati Sumpah Pemuda sebagai ikon kesatuan bangsa itu juga muncul dari Ki Hajar Dewantara pada 1948. Dia menyampaikan usulan ini kepada Presiden Sukarno dan sejak itulah peringatan Hari Sumpah Pemuda dirayakan dengan lebih semarak,” kata Anhar. (Rabi)