copz Ww. JPNN
Pak Harto Anak Pak
Karto (4)
Apa Benar Pak Harto Pernah Lari Meninggalkan Pertempuran?
ZAMAN Belanda, jadi tentara
Belanda. Zaman Jepang, jadi polisi Jepang. Indonesia merdeka, jadi tentara
republik. Ini dia kisah Pak Harto.
1 Juni 1940. Soeharto memulai hidup baru. Hari
itu dia masuk Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL)--tentara Hindia
Belanda.
Setelah ditempah di sekolah militer Gombong, Jawa
Tengah, Soeharto ditempatkan di Batalion XIII KNIL di Rampal, Malang, Jawa
Timur, dengan pangkat kopral.
Tentara KNIL, sebagaimana ditulis Suhario
Padmodiwiryo, dalam Memoar Hario Kecik, "diwajibkan oleh
pemerintah Hindia Belanda, untuk angkat sumpah setia kepada Ratu Kerajaan
Belanda, Wilhelmina."
Zaman Jepang
Awal 1942, Jepang datang menyerbu. Tentara Hindia
Belanda tak berkutik. Tanpa perlawanan berarti, Belanda menyerah.
"Soeharto bersama-sama dengan kawan-kawannya
dari KNIL dapat menyelamatkan diri," tulis O.G. Roeder dalam Soeharto--Dari
Pradjurit Sampai Presiden.
Ia pulang kampung ke Kemusu, sekira 37 km dari
Candi Borobudur. Sesampai di kampung, kena malaria.
1 November 1942. Di bawah kekuasaan Jepang,
Soeharto mendaftar sebagai sukarelawan pasukan kepolisian Jepang, Keibuho.
Dia ditempatkan di Yogyakarta sebagai pembantu
kepala polisi.
"Atas arahan dari atasannya, 8 Oktober 1943,
Soeharto masuk PETA sebagai shodanco, komandan peleton," ungkap Roeder.
Sempat bertugas di Wates, sebelah timur Yogya,
kemudian dikirim ke Sekolah Tinggi Militer Jepang di Bogor.
Sekolah itu sekarang jadi Museum PETA
Bagor.
1944 Soeharto lulus dengan pangkat cudanco,
ditempatkan di Solo sebagai komandan kompi.
Sebentar kemudian dia dipindahkan ke Madiun
sebagai perwira staf di markas PETA.
Indonesia Merdeka
Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Soeharto tak langsung menggabungkan
diri ke Badan Keamanan Rakyat (BKR)--cikal bakal TNI.
Dia ke Yogya. Di mana-mana terdengar pekik
merdeka. Setelah melihat perkembangan situasi, barulah bergabung dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR).
Usianya ketika itu 24 tahun.
Semasa jadi tentara republik, Soeharto sendiri
mengaku pernah memobilisasi ribuan pemuda Yogya, menyerbu markas Jepang dan
menang setelah 12 jam bertempur.
Karena kemenangan itu, sebagaimana diceritakan
Roeder, Soeharto ditunjuk menjadi komandan Batalion X Yogyakarta.
Keunggulan Soeharto, menurut Roeder, menarik
perhatian Jenderal Sudirman. Mereka pernah sama-sama berjibaku dalam
pertempuran di Ambarawa.
Hanya saja, RM Adjikoesoemo, orang dalam Keraton
Yogyakarta, sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Soeharto Setelah Lengser,
yang ditulis Yayan Sopyan dkk, menceritakan, dalam pertempuran Ambarawa…
Soeharto yang banyak dipercaya memiliki
"kesaktian" malah melarikan diri.
RM Adjikoesoemo cucu GBPH Pudjokusumo, adik Sri
Sultan Hamengkubowono IX.
Menurut buku tersebut, cerita tentang Soeharto
lari dari medan juang, didengar langsung Adjikusumo dari ayahnya.
Entah mana yang benar, Roeder malah menceritakan,
Soeharto pernah marah-marah kepada pasukan yang panik dan lari meninggalkan
pertempuran Ambarawa.
Roeder adalah orang pertama yang menulis biografi
Soeharto berdasarkan riset dan wawancara dengan sejumlah orang, termasuk
Soeharto.