Salam X-Kars
Situs
Biting - Benteng Terbesar di Era Majapahit
Radar Besuki
SALAH satu peninggalan Kerajaan
Lamajang Tigang Juru adalah Situs Biting. Situs tersebut berbentuk sebuah
benteng yang mengelilingi kerajaan yang dipimpin oleh Aria Wiraraja.
Situs Biting ini berada di Dusun
Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Situs ini mengelilingi pusat kota Kerajaaan Lamajang Tigang Juru.
Beberapa areal Situs Biting saat ini
berdiri di lahan milik warga dan Perhutani. Bahkan, ketika menggali tempat yang
diduga mejadi pintu utama Benteng berada di perumahan milik warga. Situs kuno
Kerajaan Lumajang ini terancam rusak. Karena beberapa lahan digunakan oleh
pengembang sebagai perumahan. Jarak antara bangunan perumahan dengan situs
kerajaan bersejarah ini hanya 40 meter
Di Benteng Biting ini terdapat lima
Pangungakan atau yang bisa disebut sebagai tempat untuk mengintai musuh di luar
benteng. Pangungakan ini berada di Gerbang Utama, dinding benteng sebelah Barat
dan Timur kemudian Utara dan Selatan.
Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan
ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang
dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan
panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991,
Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area
merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha,
blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.
Dalam Babad Negara Kertagama,
kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong
dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik
dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa
kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi
oleh benteng yang kokoh.
Kaitan Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit
Kaitan Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit
Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu
menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal
setianya ke Madura, maka Adipati Arya Wiraraja yang saat itu menjabat sebagai adipati
di Madura memberikan bantuan kepada Raden Wijaya guna merebut kembali haknya
yang saat itu tengah digenggam Raja Jayakatwang asal Kerajaan Kediri yang belum
lama memberontak dan menewaskan mertua Raden Wijaya yaitu Raja Kertanegara yang
memimpin Kerajaan Singosari.
Pada kesepakatan itu termuan adanya
pembagian kekuasaan bila Raden Wijaya berhasil merebut kebali kekuasaan sebagai
Raja. Dalam kesepakatan dituangkan bahwa "pembagian tanah Jawa menjadi
dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian
Sumenep".
Setelah itu Adipati Arya wiraraja
memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan
pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan
"hutan Terik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa
Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura.
Raden Wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah
menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian
desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan
Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja
kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan
pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan
perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka
diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam
waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi
meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan
kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau
Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.
Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Lembu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Lembu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan
Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian
Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat
menjadi Raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan
Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah
timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja
yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar
I.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini
sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan
dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita
mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan
Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan
Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan
Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak
Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Sepeninggal Prabu Menak Koncar I
(Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaitu Mpu Nambi diserang oleh
Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi
yang juga merupakan Patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan
Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan
dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa"
yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.
Jatuhnya Lamajang ini kemudian
membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan
perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang
sadeng dan ketha pada Tahun 1331 Masehi. (rabi)