Selasa, 02 Agustus 2016

Situs Biting - Benteng Terbesar di Era Majapahit



Salam X-Kars
Situs Biting - Benteng Terbesar di Era Majapahit
Radar Besuki
SALAH satu peninggalan Kerajaan Lamajang Tigang Juru adalah Situs Biting. Situs tersebut berbentuk sebuah benteng yang mengelilingi kerajaan yang dipimpin oleh Aria Wiraraja.

Situs Biting ini berada di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Situs ini mengelilingi pusat kota Kerajaaan Lamajang Tigang Juru. 

Beberapa areal Situs Biting saat ini berdiri di lahan milik warga dan Perhutani. Bahkan, ketika menggali tempat yang diduga mejadi pintu utama Benteng berada di perumahan milik warga. Situs kuno Kerajaan Lumajang ini terancam rusak. Karena beberapa lahan digunakan oleh pengembang sebagai perumahan. Jarak antara bangunan perumahan dengan situs kerajaan bersejarah ini hanya 40 meter

Di Benteng Biting ini terdapat lima Pangungakan atau yang bisa disebut sebagai tempat untuk mengintai musuh di luar benteng. Pangungakan ini berada di Gerbang Utama, dinding benteng sebelah Barat dan Timur kemudian Utara dan Selatan.

Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.

Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh.

Kaitan Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit


Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, maka Adipati Arya Wiraraja yang saat itu menjabat sebagai adipati di Madura memberikan bantuan kepada Raden Wijaya guna merebut kembali haknya yang saat itu tengah digenggam Raja Jayakatwang asal Kerajaan Kediri yang belum lama memberontak dan menewaskan mertua Raden Wijaya yaitu Raja Kertanegara yang memimpin Kerajaan Singosari.

Pada kesepakatan itu termuan adanya pembagian kekuasaan bila Raden Wijaya berhasil merebut kebali kekuasaan sebagai Raja. Dalam kesepakatan dituangkan bahwa "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep".

Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden Wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.

Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.

Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Lembu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi Raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.

Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaitu Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan Patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.

Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada Tahun 1331 Masehi. (rabi)