Monomen Anyer -Panarukan
Panarukan –Sejarahmu Doeloe...
Radar Besuki
Di masa silam, daerah Situbondo merupakan daerah
penting di pantai utara bagian timur pulau Jawa. Sebab di kawasan itu terdapat
pelabuhan-pelabuhan penting seperti Panarukan, Kalbut dan Jangkar. Malah kota
Panarukan pada abad ke-14 merupakan salah satu pangkalan penting bagi kerajaan
Majapahit. Di Panarukan sudah berdiri kerajaan Keta (nama itu abadi sebagai desa
Ketah di kecamatan Suboh, Situbondo - pen). Untuk merebut Keta - sebagaimana
dituturkan dalam Negarakretagama pupuh XLIX/3 – Majapahit melakukannya dengan
kekuatan senjata.
Kawasan Situbondo di masa silam termasuk ke dalam
wilayah Wirabhumi. Dilihat dari segi nama, dapat diasumsikan bahwa penduduk di
kawasan Wirabhumi adalah orang-orang yang memiliki sifat ksatria yang gagah
perkasa dan tidak gampang tunduk kepada siapa saja yang ingin menguasai mereka.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki harga diri dankehormatan tinggi. Mereka
adalah orang-orang yang ingin merdeka dari tekanan siapa pun yang datang dari
luar. Sejarah setidaknya telah mencatat bahwa di daerah Wirabhumi ini telah
sering pecah peperangan. Perang terbesar yang pada gilirannya meruntuhkan
Majapahit, yakni Perang Paregreg terjadi di kawasan ini. Sejak kekuatan Bhre
Wirabhumi dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg, daerah Wirabhumi
seperti "terlepas" dari kontrol Majapahit.
Rakyat di daerah itu menyusun sejarahnya sendiri.
Bahkan saat agama Islam sudah menyebar di pulau Jawa abad ke-16, kawasan
Wirabhumi sepertinya tetap berada di dalam cengkeraman raja-reja lokal yang
masih beragama Hindu.Pada 1535 Masehi seorang musafir Portugis bernama Galvao
mengunjungi Panarukan.Galvao mencatat bahwa masyarakat di kawasan itu masih
beragama Hindu. Seminggu sebelum kedatangannya, demikian Galvao, ia mendengar
cerita bahwa ada seorang janda yang baru saja membakar diri untuk ikut mati
bersama suaminya. Pada 1546 Sultan Trenggana dari Demak menyerang Panarukan dan
beliau gugur dalam serangan tersebut. Sekalipun harus ditebus dengan gugurnya
Sultan Trenggana, namun Demak berhasil menguasai wilayah Panarukan.
Agama Islam
pun mulai berkembang di Panarukan. Tahun 1575 -- secara tiba-tiba -- Panarukan
direbut oleh raja Blambangan, Santaguna, yang masih beragama Hindu.Pada 1579
seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari mengunjungi Panarukan untuk melayani
orang-orang Portugis yang tinggal di situ. Ia berlayar dengan kapal Portugis
yang berpangkalan di Malaka. Di kota pelabuhan itu ia mendapat sambutan ramah.
Raja Santaguna bahkan meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih
banyakmisionaris dikirim.Kira-kira tahun 1585 romo-romo kelompok biarawan
Capucijn dari Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan
seorang "imam berhala", saudara sepupu raja "kafir"
(Santaguna) di situ menjadi orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan
yang telah dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat (De Graef, l986).Tahun 1596
raja Pasuruan melakukan serangan ke Panarukan yang saat itu dirajai olehketurunan
Raja Santaguna yang dipertahankan pasukan-pasukan dari Bali pimpinan Jelantik.
Dalam suatu pertempuran yang sengit, pasukan Islam
berhasil meraih kemenangan bahkan berhasil menewaskan Jelantik. Dan sejak tahun
1600 -- begitu menurut catatan sejarah -- Panarukan telah menjadi
Islam.Kisah-kisah sejarah di kawasan Wirabhumi -- jika dikaji secara cermat --
cukup banyak yang mengandung muatan "rekayasa" politik di dalamnya
yang seringkali meletus dalam bentuk pertempuran besar yang mengakibatkan
jatuhnya korban rakyat kecil. Kisah pemberontakan Patih Mangkubhumi Nambi di
awal abad ke-14, misalnya, adalahhasil rekayasa dari tokoh Mahapatih yang
berambisi menjadi Patih Mangkabhumi. Dengan suatu manuver politik yang rapi,
Mahapatih berhasil menyudutkan Nambi sebagai pejabat yang akan mengadakan
pemberontakan terhadap pemerintah pusat.
Hasilnya, benteng Pajarakan yang menjadi basis
kekuatan Nambi dihancurkan pasukanMajapahit. Nambi sekeluarga beserta
pengikut-pengikutnya terbunuh. Dan Mahapatih, setelah peristiwa itu diangkat
menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit (Mulyana, l979).Pada perempat akhir abad
16, menurut catatan sejarah daerah Situbondo tepatnya di sekitar Demung dan
Ketah telah dijadikan ajang pertempuran akibat pertarungan antar kepentingan
kelompok yang bersengketa dalam upaya merebut kekuasaan Mataram dari Amangkurat
I.
Dalam pertempuran itu, kekuatan Mataram yang berada
di bawah perintah Amangkurat I berhadapan dengan pejuang Makassar yang secara
rahasia berada di bawah perintah Adipati Anom, putera mahkota.Menurut catatan
Belanda dalam Daghregister 25 Januari 1674, Demung dekat Panarukan telah
dijadikan benteng pertahanan oleh pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng
Bonto Marannu. Sejak Oktober 1674, orang-orang Makasar itu ditengarai telah menjadikan
Demung sabagai tempat tinggalnya.
Pangeran Adipati Anom - putera mahkota Amangkurat I
- yang mengincar kedudukanayahandanya, rupanya telah menjalin hubungan rahasia
dengan pimpinan warga Makassar di Demung yakni Karaeng Bonto Marannu. Dalam
hubungan itu, terjalin pula sedikit hubungan antara orang-orang Makassar dengan
Madura. Ini dikarenakan, Pangeran Adipati Anom juga menjalin hubungan rahasia
dengan menantu Panembahan Rama yakni Trunojoyo dari Madura. Tetapi hubungan
kedua kelompok itutidak menjadi akrab dan tidak berlangsung lama pula. Itu
disebabkan oleh kepentingan masing-masing terlalu banyak berbeda (De
Graaf,l987).
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa orang-orang
Makassar di akhir 1674 dari pangkalannya di Demung telah melakukan penyerangan
ke kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Kota pelabuhan Gerongan yang
merupakan pelabuhan beras,misalnya, dalam waktu singkat dikuasainya. Mereka
bahkan membunuh awak perahu milik warga Batavia Struys. Anehnya, para pejabat
Mataram di kawasan pantai utara tak menunjukkan reaksi melihat daerahnya
dilanda kerusuhan.Menurut De Graaf (l987) Pangeran Adipati Anom rupanya telah
memberikan perintah agar para pejabat Jawa tidak mengambil tindakan terhadap
orang-orang Makassar yang melakukan penyerangan dan perampasan itu.
Kepatuhan para penguasa setempat -- yakni
bupati-bupati di daerah Surabaya dan Gresik -- atas perintah Pangeran Adipati
Anom itu ternyata berakibat fatal. Sebab Sunan Amangkurat I kemudian
memerintahkan agar para pejabat itu dibunuh.Sejarah memang mencatat bahwa dalam
proses suksesi atas kekuasaan Amangkurat I itu, telah terjadi berbagai macam
rekayasa politik yang mengorbankan nyawa rakyat kecil yang terombang-ambing
oleh ketidak-pastian angin kekuasaan. Para pejabat daerah setingkat bupati
dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada dua jalur perintah yang
bertolak-belakang yakni perintah dari putera mahkota dan perintah sunan.Akibat
dari manuver politik yang makin lama makin transparan itu, Pangeran Adipati
Anom pada gilirannya dituduh mau merebut kekuasaan selagi ayahandanya masih
berkuasa.
Karena itu, ia dibenci oleh Sunan yang sudah tua
itu, dan adiknya Pangeran Singasari ditetapkan sebagai pengganti ayahnya.
Pangeran Puger dan Pangeran Sampang, memang telah menyatakan dukungan terhadap
Pangeran Adipati Anom sebagai pengganti ayahnya, tetapi banyak pangeran lain
yang bersumpah akan mendukung keputusan Sunan.Kekisruhan situasi akibat proses
suksesi dewasa itu berlangsung di mana-mana. Kekacauan yang pecah di pedalaman
Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, dikendalikan oleh Trunojoyo yang
berpangkalan di Kediri. Sedang kekacauan di pantai utara Jawa Timur dan
sebagaian Jawa Tengah dikendalikan oleh orang-orang Makassar di bawah Karaeng
Bonto Marannu, Karaeng Galesong, Karaeng Tallo, dan sebagainya.
Menurut Jonge (dalam De Graaf, 1987) Sunan
Amangkurat I yang marah karena merasa dikhianati putera mahkota itu mengirimkan
100 perahu perang ke Demung dengan membawa pasukan ribuan orang. Pasukan
dipimpin Raden Prawirataruna dan Rangga Sidayu. Kekuatan laut Mataram itu
kemudian bergabung dengan armadaBelanda pimpinan Jan Franszen. Dan antara 17 -
24 Mei 1676 terjadi pertempuran antara pasukan Jan Franszen dengan pasukan
Makassar di Demung. Sedang pasukan Rangga Sidayu bertempur di Keta.
Namun dalam serbuan itu, pihak Mataran mengalami
kehancuran dan panglima-panglima perangnya tewas dengan cara
mengenaskan.Rekayasa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom untuk merebut
kekuasaan ayahandanya itu pada akhirnya memang berhasil sukses. Sebab setelah
terjadi kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya marak ke ibukota
Mataram hingga Amangkurat I yang rambutnya sudah penuh uban itu mengungsi dan
kemudian mati di Wanayasa tepatnya di Tegalwangi sebagaimana ditulis dalam
Babad Tanah Jawi, maka Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja Mataram.
Namun dalam catatan Valentijn (dalam De Graaf, 1987)
disebutkan bahwa untuk mempercepat matinya Sunan Amangkurat I dalam pengungsian
itu, putera mahkota yakni Pangeran Adipati Anom telah memberikan sebutir
pil.Terlepas dari keberhasilan Pangeran Adipati Anom dalam melakukan rekayasa
untuk merebut kekuasaan dari ayahnya, yang jelas akibat dari rekayasa itu
adalah kehancuran daerah di sekitar Demung dan Ketah akibat perang dan kerusuhan.
Bahkantidak terhitung berapa jumlah korban yang harus mati dalam rekayasa itu.
Yang jelas, korban itu umumnya adalah rakyat
pedesaan dan prajurit-prajurit rendahan.Berdasar uraian di muka, terdapat suatu
petunjuk bahwa masyarakat di kawasan ini adalah komunitas yarg sangat fanatik
terhadap agama yang dianutnya, sekaligus memiliki kecenderungan nativis yakni
enggan menerima pengarah dari luar yang tidak sesuai dengan budaya mereka yang
heroik yang terbentuk oleh latar sejarah mereka yang penuh diwarnai peperangan
dan rekayasa politik. (rabi)