Salam X-Kars
Kisah Aji Saka Dalam Arti dan Makna (05)
Kisah Aji Saka Dalam Arti dan Makna (05)
Radar Besuki
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut. Konsesi secara .....(Asambung....)
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut. Konsesi secara .....(Asambung....)