Panglima Bromocora asal Tapal Kudawww.radarbesuki.com
Pada suatu hari di sebuah kampung di kawasan Tapal Kuda, Jawa
Timur, Kiai As'ad Syamsul Arifin mendapat kabar ada masjid yang tak pernah
terisi penuh setiap kali Jumatan digelar. Padahal seluruh penduduk di kampung
itu menyebut diri mereka sebagai muslim. Setelah diselidiki, ternyata di
kampung itu ada seorang dedengkot bromocorah yang tak pernah Jumatan, apalagi
salat, dan sangat ditakuti warga sekitar. www.radarbesuki.com
Akhirnya Kiai As'ad memutuskan menemui si bromocorah, yang menyambutnya
dengan penuh ketar-ketir. Dia mengira akan didamprat habis oleh sang kiai.
Maklum, Kiai As'ad bukan cuma dikenal sebagai guru mengaji para santri, tapi
juga punya aji-aji mumpuni. Para jawara, bajingan, dan bandit di sejumlah
daerah di Tapal Kuda bertekuk lutut kepadanya.
Ternyata dia keliru. Kiai As'ad justru datang dengan sikap santun
dan tutur kata halus. Kepada si bromocorah,
As'ad berjanji akan berkumpul dengannya, baik di dunia maupun di akhirat, andai
dia dan segenap warga kampung berkenan memakmurkan masjid setiap Jumat.
“Bahkan, bila dia nyasar ke neraka di akhirat kelak, Kiai
bersedia menariknya ke surga,” tulis Syamsul A. Hasan di halaman 148 buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat.
Jurus tersebut ampuh menggetarkan dan meluluhkan hati si bromocorah. Dia pun insaf dan,
bersama warga, kemudian ke masjid setiap Jumat. www.radarbesuki.com
KH Mahrus Ali, Lirboyo, Kediri; KHR As'ad
Syamsul Arifin; KH Ali Ma'shum, Krapyak, Yogyakarta.
"As'ad pernah memimpin
pencurian senjata milik Belanda di gudang mesiu Dabasah, Bondowoso, pada akhir
Juli 1947."
Menurut Zainul Milal Bizawie, doktor ilmu sejarah dari Universitas
Indonesia, karisma kiai As'ad sangat kuat di kalangan kaum bromocorah, bandit, dan
berandalan karena memperlakukan mereka bukan sebagai sampah masyarakat,
melainkan bagian dari keluarganya sendiri sejauh bersedia mengikuti titah sang
kiai. Mereka yang berasal dari kawasan Tapal Kuda (Banyuwangi, Situbondo,
Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan) dikumpulkan untuk
diajak berjuang melawan penjajah Belanda. www.radarbesuki.com
Mereka dihimpun dalam satu barisan yang kemudian populer dengan
sebutan Pasukan Pelopor dengan seragam serbahitam, mulai baju, celana, hingga
tutup kepala. Mereka menggunakan senjata celurit, rotan, dan keris. “Jumlahnya
ribuan orang,” kata penulis buku Masterpiece
Islam Nusantara terbitan
Pustaka Compass, April 2016, saat dihubungi, Senin, 14 November 2016.
Perekrutan mereka yang biasa bergerak di dunia hitam menjadi
anggota Pasukan Pelopor, Milal melanjutkan, dimulai setelah terbitnya Resolusi
Jihad Nahdlatul Ulama pada pertengahan Oktober 1945. Kiai As'ad lantas
berkeliling ke pondok pesantren di kawasan Madura untuk menemui para kiai di
sana. Bukan untuk minta santri, ustad, atau wali santri, melainkan para
bajingan yang bersedia dilatih di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah,
Sukorejo, Situbondo, guna melawan penjajah. Para tokoh bajingan dari Pulau
Madura dan Karesidenan Besuki pun berduyun-duyun menuju Sukorejo.
Di sana, kiai As'ad lantas memompa semangat dan
melatih mereka untuk ikut membela agama sekaligus mempertahankan kemerdekaan
Republik. Menurut KH Muhyidin Abdusshomad, keponakan Kiai As'ad, kepada
para bromocorah itu kemudian diberikan doa-doa yang harus mereka amalkan sehingga
punya kekebalan tubuh terhadap senjata tajam. Juga ada amalan yang memungkinkan
para bromocorah itu tak kelihatan oleh musuh saat mencuri senjata dari gudang
milik Belanda. Kiai As'ad juga memiliki ilmu-ilmu lain yang sulit dicerna oleh
logika orang awam.
www.radarbesuki.com
Muhyidin mencontohkan, saat perundingan dengan
seorang panglima Jepang, Kiai sempat menggebrak meja hingga hancur menjadi
butiran sebesar kerikil ketika si Jepang menolak permintaannya. "Kejadian
itu disaksikan banyak orang, termasuk ayah saya (KH Abdusshomad). Jepang pun
akhirnya mau meninggalkan wilayah Tapal Kuda," tutur Muhyidin. www.radarbesuki.com
Untuk mendapatkan logistik, menurut Milal, Kiai
As'ad menjalin hubungan dengan para habib, yang kebetulan banyak menjadi
pedagang. Selain itu, As'ad mengeluarkan harta pribadinya untuk menjamu para
pejuang di Pesantren Sukorejo, yang kala itu menjadi markas pejuang
kemerdekaan. “Menurut kesaksian sejumlah sumber, jumlahnya diperkirakan
mencapai 10 ribu orang,” ujarnya.
Pasukan Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan
pasukan lain berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar
gunung untuk menyerang pasukan Belanda, lalu mengamankan diri. Mereka
menggunakan taktik serang dan lari. Strategi ini dijalankan oleh para santri
yang tergabung dalam pelbagai laskar, hingga Negara Republik Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda pada Desember 1949.
Bersama Pasukan Pelopor, menurut Direktur
Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial
Hartono Laras, As'ad pernah memimpin pencurian senjata milik Belanda di gudang
mesiu Dabasah, Bondowoso, pada akhir Juli 1947. “Senjata curian itulah yang
digunakan untuk melawan laju pasukan Belanda,” ujarnya saat ditemui di gedung
Konvensi, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur, Kamis, 10 November. www.radarbesuki.com
Selain itu, persenjataan biasanya didapatkan
dari para petugas keamanan pabrik gula milik Belanda di kawasan Situbondo. Pada
masa penjajahan, pabrik gula memegang peran vital sebagai lumbung ekonomi
Belanda hingga mendapat akses langsung ke birokrasi pusat. Di pabrik, para
pekerja bagian keamanan diberi fasilitas senjata. Pencurian ini biasanya
melibatkan sejumlah berandal dan preman yang beraksi pada malam hari.
Selama memimpin perang gerilya, menurut Syamsul
A. Hasan, Kiai As'ad sering menunggang kuda putih, warna kesukaannya. Karena
itu, ia dikenal pula dengan sebutan "Satria Kuda Putih”. Mengapa
menggunakan kuda putih? "Nabi Ibrahim kudanya juga putih," ujarnya
suatu ketika kepada Tempo edisi 15 Oktober 1983. www.radarbesuki.com
Bukan cuma kuda putih, kiai karismatik ini juga
dikenal rajin mengurusi enam ekor ayam hutan, juga memelihara seekor burung beo
yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam:
assalamualaikum. Dan bila membalas tegur sapa sang beo, biasanya sang tamu
lantas tertawa lantaran si beo membalas dengan kata “aassooiii”. Burung beo itu
pun, menurut santri di sana, bisa melafalkan Allahu akbar bila bergema suara azan.
“Burung ini pemberian orang sebagai hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Selain disegani kalangan bromocorah dan kalangan dunia hitam, pada bagian lain Syamsul memaparkan,
sang kiai diakui karisma dan karomahnya oleh para santri dan kiai-kiai
senior yang mengenalnya. Pada era sebelum kemerdekaan, karisma kiai As'ad
tecermin dari kerap berdatangannya tokoh Belanda ataupun Jepang. Van der Plas
(Gubernur Hindia Belanda di Jawa Timur) dan Abdul Hamid Ono termasuk yang
pernah menemui sang kiai untuk bernegosiasi selama mereka menjalankan tugas. www.radarbesuki.com
Berpuluh tahun setelah merdeka, nama besar sang
kiai dan pesonanya juga menjadi magnet bagi kalangan artis di Tanah Air. Si
Raja Dangdut Rhoma Irama, yang mengenal kiai As’ad sejak 1977, menilai Kiai
As’ad bukan cuma sebagai sosok ulama yang mumpuni di bidang keagamaan, tapi
juga berwawasan luas di bidang lain. Rhoma mengaku merasa sangat khusyuk bila
menjadi makmum sang kiai saat salat berjemaah. Tak aneh bila dia dan personel
Soneta biasa menyempatkan diri ke kediaman Kiai As'ad dan meminta nasihat bila
hendak menggelar konser di Jawa Timur. (EW/DTK/team rabi)