Cerpen………
Cerita Rakyat Aji Saka
Radar Besuki
Tersebutlah
seorang pemuda sakti yang tinggal di desa Medang Kawit. Aji Saka namanya. Ia
mempunyai dua pembantu yang sangat setia. Dora dan Sembada nama keduanya.
Suatu
hari Aji Saka berniat ke wilayah Medang Kamulan. Ia mendengar perilaku Raja
Medang Kamulan yang bernama Prabu Dewata Cengkar yang sangat jahat. Prabu
Dewata Cengkar gemar memangsa manusia. Setiap hari ia harus makan daging
manusia. Patih Medang Kamulan yang bernama Jugul Muda harus sibuk mencari
manusia untuk dipersembahkan kepada rajanya yang sangat kejam itu. Rakyat
Medang Kamulan sangat ketakutan dan mereka memilih untuk mengungsi dari Medang
Kamulan dibandingkan harus menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka
berniat menghentikan kekejaman penguasa kerajaan Medang Kamulan yang gemar
memakan manusia itu untuk selama-Iamanya.
Dalam perjalanan menuju kerajaan Medang Kamulan, Aji Saka dan
dua pembantunya tiba di daerah pegunungan Kendeng. Aji Saka meminta Sembada
untuk tinggal di daerah itu dan menyerahkan keris saktinya. Katanya,
"Kutitipkan keris sakti pusakaku ini kepadamu. Sekali-kali jangan engkau serahkan
keris sakti pusakaku ini kepada siapa pun kecuali hanya kepadaku saja! Aku
sendiri yang akan datang mengambil keris pusakaku ini.” Sembada mengiyakan
pesan Aji Saka.
Aji
Saka bersama Dora melanjutkan perjalanan. Di sebuah tempat,
Aji Saka meminta Dora untuk tinggal karena ia akan ke kerajaan Medang Kamulan
seorang diri.
Cerita
Pendek Nusantara Cerita Rakyat Jawa Tengah Aji Saka
Syandan, Aji Saka bertemu dengan Patih Jugul Muda yang tampak
kebingungan karena tidak mendapatkan seorang manusia pun yang dapat
dipersembahkan untuk Prabu Dewata Cengkar. "Jika itu yang menjadi
kebingunganmu, serahkan aku kepada rajamu, wahai Patih Jugul Muda," kata
Aji Saka.
Patih
Jugul Muda sangat keheranan mendengar ucapan Aji Saka. Jika orang lain akan
lari terbirit-birit jika hendak dijadikan korban guna memuaskan nafsu Prabu
Dewata Cengkar itu, Aji Saka malah menawarkan dirinya!
Patih Jugul Muda lantas membawa Aji Saka ke istana kerajaan
Medang Kamulan. Berbeda dengan orang-orang lainnya yang sangat ketakutan ketika
dihadapkan pada Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka tampak tenang. Sama sekali ia
tidak menunjukkan ketakutan. Katanya di hadapan Raja Medang Kamulan yang sangat
kejam itu, "Sebelum hamba Paduka makan, perkenankan hamba mengajukan satu
syarat terlebih dahulu."
"Syarat?"
Prabu Dewata Cengkar melototkan kedua bola matanya, "Syarat apa yang
engkau kehendaki?"
"Hamba
meminta imbalan tanah seluas surban yang hamba kenakan ini," jawab Aji
Saka.
Tak terkirakan gembiranya hati Prabu Dewata Cengkar mendengar
syarat yang diajukan Aji Saka. Syarat yang sangat mudah menurutnya. Hanya
dengan memberikan imbalan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka ia telah
dapat memangsa Aji Saka. Maka katanya kemudian dengan wajah berseri-seri,
"Aku akan penuhi permintaanmu! Lekas engkau buka surbanmu itu dan
gelarlah. Aku telah sangat lapar!"
Aji Saka membuka surbannya dan mulai menggelarnya. Sangat
mengherankan, surban itu ternyata sangat panjang. Surban seolah-olah tidak
putus-putusnya digelar hingga wilayah Kerajaan Medang Kamulan pun kurang
panjang. Surban bagai terus memanjang hingga membentang dari istana kerajaan
menjangkau wilayah gunung, sungai, hutan, dan bahkan hingga ke Iembah- lembah.
Semua tidak menyangka jika surban yang dikenakan Aji Saka itu begitu panjang
lagi luas. Begitu pula dengan Prabu Dewata Cengkar tidak menyangkanya.
Sesuai perjanjian yang telah disepakati Prabu Dewata Cengkar
yang akan menyerahkan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka, itu berarti
wilayah kekuasaan Prabu Dewata Cengkar diserahkan kepada Aji Saka. Prabu Dewata
Cengkar pun sangat murka. Ia langsung menangkap Aji Saka untuk dimangsanya.
Namun, Aji Saka bukan pemuda sembarangan. Ia bisa menghindari serangan
tiba-tiba Prabu Dewata Cengkar itu. Sebaliknya, Prabu Dewata Cengkar tidak
berdaya ketika terlilit surban Aji Saka. Meski telah meronta-ronta sekuat
tenaga, Prabu Dewata Cengkar tidak dapat melepaskan diri dari lilitan surban.
Semakin keras ia berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia terbelit surban Aji
Saka. Dengan kesaktiannya, Aji Saka mampu melemparkan tubuh Prabu Dewata
Cengkar ke Laut Selatan. Seketika itu Raja Medang Kamulan yang gemar memakan
daging manusia itu menemui kematiannya.
Tak terkirakan kegembiraan rakyat Medang Kamulan setelah mendengar
kematian Prabu Dewata Cengkar. Berbondong-bondong mereka kembali ke desa mereka
masing-masing. Segenap rakyat pun akhirnya sepakat menunjuk Aji Saka sebagai
pemimpin mereka. Maka, Aji Saka lantas bertakhta sebagai Raja Medang Kamulan
menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Kian gembira dan berbahagia rakyat Medang
Kamulan mendapati Aji Saka memerintah dengan adil dan bijaksana.
Pada
suatu hari Aji Saka teringat pada keris sakti pusakanya yang masih
ditinggalkannya di pegunungan Kendeng yang dijaga Sembada. Ia lantas
memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusakanya itu.
Berangkatlah Doa memenuhi perintah Aji Saka. Bertemulah ia
dengan sahabat dekatnya yang masih tetap setia berada di pegunungan Kendeng.
Setelah berbincang-bincang melepas kerinduan, Dora menyatakan maksud
kedatangannya. "Aku diutus junjungan kita untuk mengambil keris pusaka
yang dititipkannya kepadamu."
Sembada sama sekali tidak curiga mendengar ucapan Dora.
Namun, ia tidak bisa menyerahkan keris pusaka milik Aji Saka itu kepada sahabat
dekatnya itu. "Untuk engkau ketahui wahai Dora sahabatku, junjungan kita
pernah berpesan kepadaku untuk tidak sekali-kali menyerahkan keris pusaka itu
kepada siapa pun juga! Aku dipesannya untuk hanya menyerahkan keris pusaka itu
kepadanya saja. Junjungan kita itu juga telah berjanji kepadaku untuk mengambiL
keris pusakanya sendiri."
"Sembada
sahabatku, apakah engkau mencurigai aku? Demi Sang Hyang Dewata Agung, aku
sungguh-sungguh menjalankan perintah junjungan kita!" ujar Dora untuk
meyakinkan.
Namun, tetap juga Sembada tidak berkenan memberikan keris
pusaka milik Aji Saka itu. Ia tetap bersikeras hanya akan menyerahkan keris
pusaka itu kepada Aji Saka sesuai amanat yang diterimanya. Sementara Dora juga
tetap bersikeras untuk meminta keris pusaka Aji Saka sesuai perintah yang
diterimanya. Keduanya saling bersikeras hingga akhirnya terjadilah perselisihan
di antara mereka. Perselisihan itu terus meruncing hingga akhirnya terjadilah
pertarungan di antara dua sahabat dekat itu.
Syandan Aji Saka terus menunggu di istana Kerajaan Medang
Kamulan. Benar-benar heran ia karena Dora yang diutusnya belum juga kembali.
Menurutnya, Dora seharusnya telah kembali. Karena keheranan dan penasarannya,
Aji Saka pun bergegas menuju pegunungan Kendeng.
Tak terkirakan terperanjatnya Aji Saka ketika tiba di
pegunungan Kendenga. Ia mendapati dua pembantu setianya itu telah tewas karena
pusaka masing-masing. Mengertilah Aji Saka jika kedua pembantu setianya itu
telah bertarung demi menjaga amanat yang diberikannya. Sembada akan mati-matian
menjaga amanatnya untuk tidak memberikan keris pusaka titipannya kepada siapa
pun selain kepada dirinya sendiri, sementara Dora akan mati-matian pula meminta
keris pusaka itu sesuai perintahnya.
Aji Saka sangat merasa bersalah atas tewasnya dua pembantu
setianya itu. Benar- benar ia terharu dan memberikan kehormatan besarnya
terhadap Sembada dan Dora yang begitu setia kepadanya. Keduanya rela mati demi
menjaga amanat dan perintah yang mereka emban. Sebagai wujud penghormatannya
atas kesetiaan dua pembantunya, Aji Saka lantas menuliskan huruf-huruf di atas
batu. Bunyi tulisan itu adalah:
ha
na ca ra ka datasawala pa dhaja ya nya ma ga ba tha ngal
(Makna
tulisan itu adalah Ada utusan, (utusan itu) saling bertengkar, (keduanya)
sama-sama sakti, (keduanya pun) mati bersama.)
Tulisan
Aji Saka itu kemudian dikenal dengan nama Carakan dan menjadi asal mula huruf
Jawa yang hingga kini masih juga menjadi tulisan dan juga bacaan orang-orang
Jawa.
Pesan Moral dari Cerita Pendek Nusantara : Cerita Rakyat Aji
Saka adalah memegang dan menjalankan amanat hendaklah dilakukan sebaik dan
sekuat yang dapat kita lakukan. Orang yang memegang dan menjalankan amanat
dengan ba1k akan mendapatkan kehormatan di kemudian hari. (rabi)