Minggu, 20 November 2016

Jasad Tan Malaka Akan Dibawa Pulang ke Kampung Halaman


Salam X-Kars
Kediri , Rabi
Uji empiris dan historis pada pecahan gigi seberat 0,25 gram dan serpihan tulang manusia seberat 1,1 gram dari kerangka jenazah setinggi 163-165 cm dengan posisi tangan terikat itu dibenarkan sebagai Datuk Sutan Ibrahim atau Tan Malaka. Atas dasar itu, Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat berencana membawa pulang jenazah Tan Malaka ke kampung halamanya. 

Wakil Bupati Lima Puluh Kota, Ferizal Ridwan, mendatangi langsung makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Kamis (17/11/2016). “Kami datang ke Kediri dalam rangka menjemput Datuk (Tan Malaka) kami yang selama ini hilang,” ujar Ferizal di kediaman pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH Abdul Muid, usai melihat langsung makam Tan Malaka.

Ferizal datang bersama keluarga Tan yang diketahui lahir di Nagari Pandan Gadang Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, komunitas pegiat Tan Malaka Institute juga turut mendampinginya. Kehadiran mereka di lokasi kuburan di lereng Gunung Wilis itu cukup mengejutkan warga setempat. 

Pemkab Lima Puluh Kota, kata Ferizal, meyakini bahwa jasad yang terkubur sedalam 2 meter itu adalah Tan Malaka. Sebelum datang ke Kediri dan menyampaikan rencana membawa pulang, pemkab telah melakukan penelusuran empiris dan sejarah. Saat ini, kata Ferizal, pihaknya juga tengah melakukan pembicaraan dengan Kementerian Sosial. Khususnya terkait rencana pemindahan. 

“Selain itu kami juga berencana berkoordinasi dengan Pemkab Kediri selaku pemegang otoritas wilayah. Kami berharap Pemkab Kediri mau bekerja sama,” jelas Ferizal. Tan terbunuh pada 21 Februari 1949. Di 19 tahun usia kematiannya, Presiden Soekarno menetapkan melalui Kepres RI No 53 Tahun 1963 sebagai pahlawan nasional. 

Namun hingga pengambilan sampel kerangka pada 2009, pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten Kediri terkesan kompak menelantarkannya. Kuburan pahlawan sekaligus penulis risalah gerakan ‘Naar de Republik Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia) pada 1925 berada di tempat pemakaman umum desa dan dalam kondisi tidak terawat. 

Padahal sumbangsih Tan Malaka terhadap kemerdekaan Indonesia begitu besar. Bahkan, buku ‘Naar de Republik Indonesia’ menjadi bacaan wajib tokoh pergerakan nasional termasuk Bung Karno, Moh Hatta, dan Sutan Sjahrir. Pemkab Lima Puluh Kota menargetkan proses pemulangan, termasuk pelepasan jenazah tuntas pada 21 Februari 2017. 

Pemulangan jenazah akan melalui jalur darat. Rencananya, rombongan akan melintasi kota-kota hingga tiba di tanah kelahirannya. Sebelum disemayamkan di sekitar rumah masa kecilnya, upacara adat Minangkabau akan menyambut kedatangan kerangka jenazah Tan. Beberapa versi menyebut nama Tan Malaka merupakan gelar tertinggi datuk atau pemangku adat Minangkabau di Nagari Pandan Gadang Suliki.
Datuk Sutan Ibrahim menerima gelar Tan Malaka setelah kakeknya meninggal dunia. Yudilfan Habib Dt Monti, salah satu penggagas Tan Malaka Institute melihat negara kurang menghargai keberadaan makam Tan Malaka. Yudilfan mengaku sedih sekaligus prihatin menyaksikan makam Tan berada di bawah bukit dengan kondisi akses jalan yang sulit. 

Akibatnya tidak banyak masyarakat luas yang mengetahuinya. “Sepertinya ada yang sengaja mengisolasi kawasan Selopanggung. Khususnya di sekitar makam (Tan Malaka), “paparnya.
Yudilfan berharap masyarakat Kediri ikhlas melepaskan jasad untuk dibawa ke tempat kelahiranya. Terkhusus kepada masyarakat Selopanggung, Yudilfan yang warga Minangkabau menyatakan terima kasihnya. 

“Terima kasih kepada masyarakat Selopanggung yang selama ini merawat makam,“ pungkasnya. Makam Tan Malaka belum lama dipugar. Sekira tiga bulanan makam yang sebelumnya berupa gundukan dengan bongkahan batu sebagai penanda kini telah bernisan. Di permukaan nisan tertulis nama Tan Malaka, lengkap dengan atribut bendera merah putih. 

Musripah warga Selopanggung yang bertempat tinggal setengah kilometer dari makam Tan Malaka mengaku tidak sedikit warga yang berdoa di pusara Tan. Namun mayoritas adalah dari luar Desa Selopanggung. “Dalam setiap Minggu selalu ada yang datang untuk berdoa. Ada yang sendirian, namun tidak sedikit yang rombongan,“ tuturnya.(Rabi)